Jumat, 16 September 2011

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)

PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(PTK)




PENINGKATAN KEMAMPUAN SPEAKING DAN LISTENING SISWA DALAM CONVERSATION MELALUI SOSIODRAMA DAN BERMAIN PERANAN (PENELITIAN TINDAKAN KELAS DI NEW CONCEPT ENGLISH EDUCATION CENTRE JAKARTA BARAT)
OLEH
FATIMATUZZAHRO
TIAM ASTUTI

NEW CONCEPT ENGLISH EDUCATION CENTRE (NCEEC)
JAKARTA
2011
PENINGKATAN KEMAMPUAN SPEAKING DAN LISTENING SISWA DALAM CONVERSATION MELALUI SOSIODRAMA DAN BERMAIN PERANAN (PENELITIAN TINDAKAN KELAS DI NEW CONCEPT ENGLISH EDUCATION CENTRE JAKARTA BARAT)

A. Latar Belakang Masalah
Dikemukakan oleh Diba Artsiyanti E.P., S.S. bahwa salah satu masalah dalam pembelajaran bahasa Inggris ialah pelajaran terlalu ditekankan pada tata bahasa dan bukan pada percakapan. Siswa jarang diberi arahan mengenai bagaimana dan apa fungsi dari unsur-unsur tata bahasa yang mereka pelajari tersebut. Siswa menguasai pola-pola tata bahasa Inggris (misalnya struktur untuk simple present tense, dan lain-lain), tetapi siswa tidak mengetahui kapan struktur tersebut harus digunakan dan bagaimana pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal akan lebih bermanfaat jika bahasa Inggris dapat digunakan dan diaplikasikan meskipun secara tata bahasa siswa tidak terlalu menguasainya. Bukan berarti bahwa pembelajaran tata bahasa tidak penting, tetapi teori-teori tersebut perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya dalam peningkatan kemampuan percakapan (conversation) siswa, maka erat kaitannya dengan kreatifitas guru dalam pemilihan metode yang tepat bagi pembelajaran. Berkenaan dengan pemilihan metode Suwardi, M.Pd. (2007: 62) menyebutkan bahwa “Dalam proses pembelajaran, pendidik dalam memilih metode pembelajaran sebaiknya memperhatikan hal-hal seperti tujuan pendidikan, kemampuan pendidik, kebutuhan peserta didik, dan isi atau materi pembelajaran”.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat pentingnya pemilihan metode pembelajaran yang tepat untuk peningkatan kemampuan siswa dalam pembelajaran. Dalam hal ini penulis ingin meneliti pengaruh metode sosiodrama dan bermain peranan (role-playing) terhadap peningkatan kemampuan berbicara (speaking) dan mendengarkan (listening) siswa dalam pembelajaran conversation (percakapan).

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang sebelumnya, fokus penelitian ini berkaitan dengan pengaruh penggunaan metode sosiodrama dan bermain peranan dalam meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa. Maka permasalahan pokok penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian: “Apakah sosiodrama dan bermain peranan dalam conversation dapat meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa di New Concept English Education Centre Jakarta?”
Berdasarkan perumusan masalah di atas, agar penelitian ini lebih spesifik, maka peneliti membatasi penelitian ini pada hal-hal yang berkaitan dengan kelebihan metode sosiodrama dan bermain peranan untuk meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa dalam pembelajaran conversation, kelemahan metode sosiodrama dan bermain peranan untuk meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa dalam pembelajaran conversation, serta peran guru dalam pengaplikasian metode sosiodrama dan bermain peranan untuk meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa dalam pembelajaran conversation.

C. Prosedur Pemecahan Masalah dan Hipotesis Tindakan
Prosedur pemecahan masalah yang akan digunakan dalam PTK ini adalah tindakan metode sosiodrama dan bermain peranan oleh tutor bahasa Inggris. Tindakan metode sosiodrama dan bermain peranan ini akan ditempuh dengan tiga siklus, setiap siklus mencakup: rencana umum – implementasi – evaluasi – perbaikan rencana. Melalui tindakan metode sosiodrama dan bermain peranan dengan dibantu oleh tutor di New Concept English Education Centre ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa di lembaga tersebut.
Selanjutnya hipotesis tindakan pemecahan masalahnya adalah sebagai berikut: “Sosiodrama dan bermain peranan dapat meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa ”.

D. Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam speaking dan listening. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui kelebihan metode sosiodrama dan bermain peranan untuk meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa dalam pembelajaran conversation.
2. Mengetahui kelemahan metode sosiodrama dan bermain peranan untuk meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa dalam pembelajaran conversation.
3. Mengetahui peran guru dalam pengaplikasian metode sosiodrama dan bermain peranan untuk meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa dalam pembelajaran conversation.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dengan didapatkannya tindakan yang efektif dan optimal dalam meningkatkan kemampuan speaking dan listening siswa.

E. Kajian Teori
1. Tentang Conversation
Menurut Condra Antoni tentang keutamaan Pembelajaran Conversation (percakapan), ialah dalam pemahaman tentang pemerolehan bahasa (terutama konsep second language acquisition versi Stephen D. Krashen) bahwa pembelajaran bahasa kedua ataupun bahasa asing dimulai dari conversation, bukan dari aturan tata bahasa. Lebih dari itu, conversation mengajarkan tentang keharmonisan sosial dalam kehidupan. Maka bukan hanya dari aspek pembelajaran bahasa saja, akan tetapi juga dalam aspek sosial, conversation merefleksikan banyak hal tentang keharmonisan hubungan antar manusia.
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam conversation ada subjek (speaker) dan objek (listener). Dalam conversation terdapat pembagian peran dengan jelas, yaitu peran sebagai subjek dan peran sebagai objek. Sebagai subjek adalah untuk menuturkan pesan yang harus disampaikan. Sebagai objek adalah untuk menerima detail pesan dengan jelas, lalu memastikan bahwa pesan yang diterima sama dengan maksud pesan yang disampaikan. Kepastian makna pesan yang diterima adalah penting mengingat untuk menghindari terjadi kesalahpahaman antara subjek dan objek.
Posisi sebagai objek dan subjek bukanlah posisi yang permanen. Sebab dalam conversation antara pembicara dan pendengar mengalami reposisi. Ada kalanya pembicara harus jadi pendengar, demikian sebaliknya. Hal ini tentunya mengajarkan bahwa dibutuhkan keluwesan dan fleksibilitas dalam interaksi. Tidak selamanya menjadi yang didengarkan. Adakalanya harus siap mendengarkan. Kedua posisi ini harus dijalani dengan maksimal untuk sebuah interaksi yang baik. Demikian juga halnya dalam hubungan sosial. Jalinan hubungan antarpersonal dan antarkomunitas hanya akan terjalin dengan baik jika masing-masing rela bertukar peran sebagai pembicara atau pendengar saat dibutuhkan.
2. Strategi Belajar Simulasi Mengajar Sosiodrama dan Bermain Peranan
Menurut Dra. Roestiyah N. K. (2008: 22) bahwa dalam pengajaran modern teknik simulasi telah banyak dilakukan, sehingga siswa bias berperan seperti orang-orang atau dalam kedaan yang dikehendaki. Simulasi adalah tingkah laku seseorang untuk berlaku seperti orang yang dimaksudkan dengan tujuan agar orang itu dapat mempelajari lebih mendalam tentang bagaimana orang itu merasa dan berbuat sesuatu. Maka siswa berlatih memegang peranan sebagai orang lain. Simulasi mempunyai bermacam-macam bentuk pelaksanaan ialah: peer-teaching, sosiodrama, psikodrama, simulasi game dan role playing.
Selanjutnya Roestiyah menjelaskan (2008: 90) bahwa kadang-kadang banyak peristiwa psikologis atau sosial yang sukar bila dijelaskan dengan kata-kata belaka. Maka perlu didramatisasikan, atau siswa dipartisipasikan untuk berperanan dalam peristiwa sosial itu.
Dalam hal ini perlu digunakan teknik sosiodrama, yaitu siswa dapat mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan social antarmanusia. Atau dengan role-playing dimana siswa bisa berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi masalah sosial atau psikologis itu. Karena itu kedua teknik ini hampir sama, maka dapat digunakan bergantian tidak ada salahnya.
Guru menggunakan kedua teknik ini dalam proses belajar memiliki tujuan agar siswa dapat memahami perasaan orang lain dan dapat toleransi. Dapat diketahui sering terjadinya perselisihan dalam pergaulan hidup antarmanusia; dapat disebabkan karena salah paham. Maka dengan sosiodrama mereka dapa menghayati peranan apa yang dimainkan, mampu menempatkan diri dalam situasi orang lain yang dikehendaki guru. Siswa dapat belajar watak orang lain, cara bergaul dengan orang lain, cara mendekati dan berhubungan dengan orang lain, dalam situasi itu mereka harus bisa memecahkan masalahnya. Dan kemudian siswa dapat mengerti dan menerima pendapat orang lain.
3. Langkah-langkah Pelaksanaan Teknik Sosiodrama dan Bermain Peranan
Dalam melaksanakan teknik ini, menurut Roestiyah (2008: 91) maka perlu mempertimbangkan langkah-langkahnya, yaitu:
a. Guru harus menerangkan kepada siswa, untuk memperkenalkan teknik ini, bahwa dengan jalan sosiodrama siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan social yang actual di masyarakat, maka kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan; masing-masing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya. Dan siswa yang lain menjadi penonton dengan tugas-tugas tertentu pula.
b. Guru harus memilih masalah yang urgen, sehingga menarik minat anak. Guru mampu menjelaskan dengan menarik, sehingga siswa terangsang untuk berusaha memecahkan masalah itu.
c. Agar siswa memahami peristiwanya, maka guru harus bisa menceritakan sambil untuk mengatur adegan yang pertama.
d. Bila ada kesediaan sukarela dari siswa untuk berperan, harap ditanggapi tetapi guru harus mempertimbangkan apakah murid tersebut tepat untuk perannya itu. Bila tidak ditunjuk saja siswa yang memiliki kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman seperti yang diperankan itu.
e. Jelaskan kepada pemeran-pemeran itu sebaik-baiknya, sehingga mereka tahu tugas peranannya, menguasai masalahnya pandai bermimik maupun berdialog.
f. Siawa yang tidak turut harus menjadi penonton yang aktif, di samping mendengar dan melihat, mereka harus bisa member saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah sosiodrama selesai.
g. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat pertama dalam dialog.
h. Setelah sosiodrama itu dalam situasi klimak, maka harus dihentikan, agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya. Sosiodrama dapat dihentikan pula bila sedang menemui jalan buntu.
i. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, walau mungkin masalahnya belum terpecahkan, maka perlu dibuka tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara.

F. Metode Penelitian
1. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lembaga pendidikan bahasa Inggris New Concept English Education Centre (NCEEC) Jakarta Barat untuk program General English Pre-Beginner (setara SMP). Direncanakan penelitian akan dilakukan pada bulan September hingga November tahun 2011.
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini ialah siswa kelas Pre-Beginner tingkat 2 untuk General English Program yang berjumlah 15 orang.
3. Desain Penelitian
Desain penelitian ini ialah berupa penelitian tindakan kelas model Lewin yang ditafsirkan oleh Kemmis dengan alur tindakan:
Gagasan Awal → Reconnaissance → Rencana Umum → Implementasi Langkah I → Evaluasi → Perbaikan Rencana I → Implementasi Langkah II → Evaluasi → Perbaikan Rencana II → Implementasi Langkah III → Evaluasi → Perbaikan Langkah III.
Berdasarkan alur desain penelitian di atas, tahapan penelitian tersebut akan diterangkan sebagai berikut:
a. Gagasan Awal
Menetapkan pokok bahasan awal untuk kemudian dicari tahu faktanya di lapangan.
b. Reconnaissance
Pada tahap ini dilakukan identifikasi kemampuan speaking dan listening siswa Pre-Beginner tingkat 2 di New Concept English Education Centre dan menganalisisnya untuk membuat hipotesis.
c. Rencana Umum
Pada tahap ini membuat perencanaan untuk langkah-langkah yang akan diimplementasikan. Masalah yang dirisaukan akan diatasi dengan melakukan langkah-langkah perencanaan tindakan berupa sosiodrama dan bermain peranan oleh tutor di New Concept English Education Centre dengan 3 langkah implementasi.
d. Implementasi
Pada tahap pelaksanaan tindakan ini akan dilakukan tindakan berupa penggunaan metode sosiodrama dan bermain peranan yang dilakukan oleh tutor pengampu, pengambilan / pengumpulan data hasil angket, lembar observasi, dan hasil tes.
e. Evaluasi
Tahap ini dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan menganalisisnya yang kemudian diambil kesimpulan dari penelitian tindakan kelas ini.
f. Perbaikan Rencana
Dilakukan kegiatan perbaikan rencana berdasarkan hasil evaluasi sebagai rujukan untuk kegiatan implementasi langkah selanjutnya.
4. Jadwal Penelitian
Sejalan dengan rencana penelitian yang tersebut pada metode penelitian sebelumnya, penelitian ini akan dilaksanakan melalui tahapan:


No Kegiatan September Oktober November Ket
Minggu ke… 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Perencanaan √ √
2 Persiapan √
3 Pelaksanaan Langkah I √
4 Pelaksanaan Langkah II √ √
5 Pelaksanaan Langkah III √
6 Pengolahan Data √ √
7 Penyusunan Laporan √ √

G. Pembiayaan
Kegiatan penelitian yang akan dilakukan direncanakan membutuhkan biaya operasional sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga penyelesaian laporan hasil penelitian.
Biaya yang direncanakan untuk implementasi tindakan sosiodrama dan bermain peranan yang dibantu oleh tutor New Concept English Education Centre terhadap 15 siswa Pre-Beginner tingkat 2 program General English ini dianggarkan sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

H. Personalia Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini melibatkan penulis sebagai ketua penelitian, dibantu oleh tutor New Concept English Education Centre sebagai pelaksana tindakan.

I. Daftar Pustaka
K., Roestiyah N. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suwardi. (2007). Manajemen Pembelajaran: Mencipta Guru Kreatif dan Berkompetensi. Jawa Tengah: STAIN Salatiga Press.
Wiriaatmadja, Rochiati. (2010). Metode Penelitian Tindakan Kelas Untuk Meningkatkan Kinerja Guru dan Dosen. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

J. Lampiran
1. Rincian Anggaran Penelitian
2. Daftar Riwayat Hidup Peneliti










Lampiran I
RINCIAN ANGGARAN PENELITIAN

1. Biaya Pelaksanaan sosiodrama (3 tahap) = Rp 900.000,-
2. Biaya untuk Pelaksana Supervisi = Rp. 900.000,-
3. Biaya Operasional Penelitian = Rp. 700.000,-
4. Biaya Kebutuhan Penyusunan Hasil Penelitian = Rp. 500.000,-
+
Total Anggaran Penelitian = Rp. 3.000.000,-













Lampiran II
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI


(Dari kiri ke kanan)
Nama Lengkap : Fatimatuzzahro
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Maret 1991
Riwayat Pendidikan : 1. SDN Tengah 01 Pagi Jakarta (2002).
2. MTs PPMI Assalaam Solo (2005).
3. MA PPMI Assalaam Solo (2008).
4. STAI Darunnajah Jakarta (Sekarang).
Nama Lengkap : Tiam Astuti
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 November 1988
Riwayat Pendidikan : 1. MAN 10 Jakarta (2007).
2. STAI Darunnajah (Sekarang).

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN SEKOLAH (PTS)

PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN SEKOLAH
(PTS)




PENINGKATAN KEMAMPUAN MANAJERIAL PENGELOLA PERPUSTAKAAN DALAM PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH OLEH KEPALA SEKOLAH MELALUI SUPERVISI DI SMP SUMPAH PEMUDA JAKARTA
OLEH
FATIMATUZZAHRO
TIAM ASTUTI

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SUMPAH PEMUDA
JAKARTA
2011
PENINGKATAN KEMAMPUAN MANAJERIAL PENGELOLA PERPUSTAKAAN DALAM PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH OLEH KEPALA SEKOLAH MELALUI SUPERVISI DI SMP SUMPAH PEMUDA JAKARTA

A. Latar Belakang Masalah
Dikemukakan oleh Ida R. Djachra (2006: 168) bahwa “Umumnya, citra perpustakaan sekolah di mata para siswa adalah suatu ruangan kaku, sepi, membosankan, dan dengan buku-buku yang ketinggalan zaman pula. Suasana yang serba tidak menyenangkan ini tentu tidak akan menarik di kalangan siswa yang terbiasa dengan suasana ceria dan penuh warna dari televisi, dan mungkin dari internet. Jadi, memang tugas pengelola perpustakaan untuk menjadikan perpustakaan dekat dengan siswa, sebagaimana siswa dekat dan akrab dengan kantin sekolah”. Maka jelaslah di sini bahwa kesadaran siswa untuk membaca salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan manajemen pengelola perpustakaan.
Upaya peningkatan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan erat kaitannya dengan pengawasan dari kepala sekolah. Fungsi kepala sekolah selain sebagai administrator juga sebagai supervisor. Dengan ini sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto (2007: 76) bahwa “Supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif”.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disadari akan adanya kemungkinan supervisi oleh kepala sekolah dapat meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan dalam perannya mengembangkan perpustakaan sekolah. Hal tersebut demi efektifitas pemanfaatan fungsi perpustakaan sebagai sumber sarana dan prasarana pembelajaran bagi peserta didik.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang sebelumnya, fokus penelitian ini berkaitan dengan penilaian dan pemantauan kinerja pengelola perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah. Maka permasalahan pokok penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian: “Apakah supervisi oleh kepala sekolah dapat meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah di SMP Sumpah Pemuda Jakarta?”
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini lebih spesifik, maka peneliti membatasi penelitian ini pada hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan fungsi pengelola perpustakaan, tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai supervisor, peran supervisi dalam meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan.



C. Prosedur Pemecahan Masalah dan Hipotesis Tindakan
Prosedur pemecahan masalah yang akan digunakan dalam PTS ini adalah supervisi oleh kepala sekolah. Supervisi ini akan ditempuh dengan tiga siklus, setiap siklus mencakup: perencanaan – tindakan – observasi – refleksi. Melalui tindakan supervisi dengan dibantu oleh kepala sekolah di SMP Sumpah Pemuda ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah tersebut.
Selanjutnya hipotesis tindakan pemecahan masalahnya adalah sebagai berikut: “Supervisi dapat meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah”.

D. Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan agar dapat mengembangkan perpustakaan sekolah. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui tugas dan fungsi pengelola perpustakaan.
2. Mengetahui tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai supervisor.
3. Mengetahui peran supervisi dalam meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dengan didapatkannya tindakan yang efektif dan optimal dalam supervisi untuk meningkatkan kemampuan manajerial pengelola perpustakaan demi pengembangan perpustakaan sebagai salah satu sumber pembelajaran.

E. Kajian Teori
1. Perpustakaan Sebagai Unit Kerja
Sebuah Perpustakaan sebagai salah satu unit kerja mempunyai unsur atau persyaratan sebagaimana dikemukakan oleh Wiji Suwarno (2010: 80) sebagai berikut:
a. Adanya organisasi.
b. Dalam surat keputusan pendiriannya harus (setidaknya) tercantum secara jelas tugas, fungsi, wewenang, tanggung jawab dan struktur organisasinya.
c. Surat keputusan itu merupakan landasan hukum konsideran, pertimbangan tentang pembentukan perpustakaan.
Lebih lanjut Suwarno mengemukakan bahwa beberapa kebutuhan pokok perpustakaan sebagai unit kerja adalah sebagai berikut:
a. Gedung (ruangan).
b. Koleksi bahan pustaka.
c. Perlengkapan dan perabotan.
d. Mata anggaran dan sumber pembiayaan.
e. Tenaga kerja.


2. Peran, Tugas, dan Fungsi Perpustakaan
Menurut Suwarno (2010: 84) bahwa istilah peran di sini adalah kedudukan, posisi, dan tempat perpustakaan beroperasional. Peran perpustakaan dapat dianggap sebagai agen perubahan, pembangunan, agen budaya, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan tugas perpustakaan menurut Sutarno NS. sebagaimana dikutip pula oleh Suwarno, secara garis besar ada tiga:
a. Tugas menghimpun informasi.
b. Tugas mengelola.
c. Tugas Pemberdayaan dan memberikan layanan secara optimal.
Lebih lanjut mengenai fungsi sebuah perpustakaan, yaitu merupakan penjabaran lebih lanjut dari semua tugas perpustakaan. Fungsi perpustakaan tersebut, antara lain adalah pendidikan dan pembelajaran, informasi, penelitian, rekreasi, dan preservasi. Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan perpustakaan (Suwarno, 2010: 86).
3. Struktur Organisasi Perpustakaan
Struktur organisasi merupakan bentuk atau figure yang akan menggambarkan beberapa hal menurut Sutarno sebagaimana dikutip pula oleh Suwarno disebutkan sebagai berikut:
a. Formasi jabatan.
b. Garis komunikasi, perintah, laporan, dan kerjasama.
c. Tugas, wewenang, dan tanggung jawab,
d. Kebutuhan pegawai.
e. Komponen kepengursan perpustakaan, mencakup:
(1) Kepala / pemimpin perpustakaan dan pemimpin unit kerja di dalamnya.
(2) Pustakawan.
(3) Pegawai pelaksana teknis kepustakawanan untuk membantu pustakawan.
(4) Pegawai tata usaha atau kesekretariatan (administrasi).
4. Fungsi-Fungsi Supervisi
Fungsi-fungsi supervisi menurut M. Ngalim Purwanto (2007: 86) dikemukakan sebagai berikut:
a. Dalam bidang kepemimpinan
(1) Menyusun rencana dan policy bersama.
(2) Mengikutsertakan anggota-anggota kelompok (guru-guru, pegawai) dalam berbagai kegiatan.
(3) Memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan.
(4) Membangkitkan dan mempuk semangat kelompok, atau memupuk moral yang tinggi kepada anggota kelompok.
(5) Mengikutsertakan semua anggota dalam menetapkan putusan-putusan.
(6) Membagi-bagi dan mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada anggota kelompok, sesuai dengan fungsi-fungsi dan kecakapan masing-masing.
(7) Mempertinggi daya kreatif pada anggota kelompok.
(8) Menghilangkan rasa malu dan rasa rendah diri pada anggota kelompok sehingga mereka berani mengemukakan pendapat demi kepentingan bersama.
b. Dalam hubungan kemanusiaan
(1) Memanfaatkan kekeliruan ataupun kesalahan-kesalahan yang dialaminya untuk dijadikan pelajaran demi perbaikan selanjutnya, bagi diri sendiri maupun bagi anggota kelompoknya.
(2) Membantu mengatasi kekurangan ataupun kesulitan yang dihadapi anggota kelompok, seperti dalam hal kemalasan, merasa rendah diri, acuh tak acuh, pesimistis, dsb.
(3) Mengarahkan anggota kelompok kepada sikap-sikap yang demokratis.
(4) Memupuk rasa saling menghormati di antara sesama anggota kelompok dan sesama manusia.
(5) Menghilangkan rasa curiga-mencurigai antara anggota kelompok.


c. Dalam pembinaan proses kelompok
(1) Mengenal masing-masing pribadi anggota kelompok, baik kelemahan maupun kemampuan masing-masing.
(2) Menimbulkan dan memelihara sikap percaya-mempercayai antara sesama anggota maupun antara anggota dan pimpinan.
(3) Memupuk sikap dan kesediaan tolong-menolong.
(4) Memperbesar rasa tanggung jawab para anggota kelompok.
(5) Bertindak bijaksana dalam menyelesaikan pertentangan atau perselisihan pendapat di antara anggota kelompok.
(6) Menguasai teknik-teknik memimpin rapat dan pertemuan-pertemuan lainnya.
d. Dalam bidang administrasi personel
(1) Memilih personel yang memiliki syarat-syarat dan kecakapan yang diperlukan untuk suatu pekerjaan.
(2) Menempatkan personel pada tempat dan tugas yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan masing-masing.
(3) Mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan dan meningkatkan daya kerja serta hasil maksimal.
e. Dalam bidang evaluasi
(1) Menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan secara khusus dan terinci.
(2) Menguasai dan memiliki norma-norma atau ukuran-ukuran yang akan digunakan sebagai criteria penilaian.
(3) Menguasai teknik-teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang lengkap, benar, dan dapat diolah menurut norma-norma yang ada.
(4) Menafsirkan dan mnyimpulkan hasil-hasil penilaian sehingga mendapat gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan.
5. Kompetensi Supervisi
Menurut Mulyasa (2009: 34) bahwa kompetensi supervisi ini sangat strategis bagi seorang kepala sekolah khususnya dalam memahami apa tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah / madrasah. Hal-hal yang perlu diungkap berkenaan dengan kompetensi kepala sekolah dalam supervise antara lain:
a. Memahami dan menghayati arti, tujuan, teknik monitoring, serta evaluasi;
b. Mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi sekolah;
c. Mengidentifikasi indikator-indikator sekolah yang efektif dan menyusun instrument;
d. Menggunakan teknik-teknik monitoring dan evaluasi;
e. Mensosialisaikan dan mengarahkan pelaksanaan monitoring serta evaluasi;
f. Menganalisis data hasil monitoring serta evaluasi; dan
g. Memiliki komitmen kuat untuk memperbaiki kinerja sekolah berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi.

F. Metode Penelitian
1. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Sumpah Pemuda Jakarta. Direncanakan penelitian akan dilakukan pada akhir tahun ajaran 2011/2012.
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini ialah pengelola perpustakaan sekolah di SMP Sumpah Pemuda Jakarta yang berjumlah 3 orang.
3. Desain Penelitian
Desain penelitian ini ialah berupa penelitian tindakan sekolah dengan alur tindakan:
Refleksi Awal → Perencanaan Tindakan I → Pelaksanaan Tindakan I → Observasi, Refleksi, dan Evaluasi I → Perencanaan Tindakan II → Pelaksanaan Tindakan II → Observasi, Refleksi, dan Evaluasi II → Perencanaan Tindakan III → Pelaksanaan Tindakan III → Observasi, Refleksi, dan Evaluasi III.
Berdasarkan alur desain penelitian di atas, tahapan penelitian tersebut akan diterangkan sebagai berikut:


a. Refleksi Awal
Pada tahap ini dilakukan identifikasi kemampuan manajerial pengelola perpustakaan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah di SMP Sumpah Pemuda Jakarta.
b. Perencanaan Tindakan
Masalah yang dirisaukan akan diatasi dengan melakukan langkah-langkah perencanaan tindakan berupa supervisi oleh kepala sekolah.
c. Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap pelaksanaan tindakan ini akan dilakukan tindakan berupa supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah, pengambilan / pengumpulan data hasil angket, lembar observasi, dan hasil tes.
d. Observasi, Refleksi, dan Evalausi
Tahap ini dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan menganalisisnya yang kemudian diambil kesimpulan dari penelitian tindakan sekolah ini.
4. Jadwal Penelitian
Sejalan dengan rencana penelitian yang tersebut pada metode penelitian sebelumnya, penelitian ini akan dilaksanakan melalui tahapan:


No Kegiatan Februari Maret April Ket
Minggu ke… 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Perencanaan √ √
2 Persiapan √
3 Pelaksanaan Tindakan I √
4 Pelaksanaan Tindakan II √ √
5 Pelaksanaan Tindakan III √
6 Pengolahan Data √ √
7 Penyusunan Laporan √ √

G. Pembiayaan
Kegiatan penelitian yang akan dilakukan direncanakan membutuhkan biaya operasional sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga penyelesaian laporan hasil penelitian.
Biaya yang direncanakan untuk implementasi tindakan supervisi yang dibantu oleh kepala sekolah SMP Sumpah Pemuda terhadap 3 orang pengelola perpustakaan sekolah SMP Sumpah Pemuda ini dianggarkan sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
H. Personalia Penelitian
Penelitian tindakan sekolah ini melibatkan penulis sebagai ketua penelitian, dibantu oleh kepala sekolah SMP Sumpah Pemuda Jakarta sebagai pengawas.

I. Daftar Pustaka
Djachra. Ida R. (2006). “Mengapa Siswa Malas Berkunjung Ke Perpustakaan?, dalam Pikiran Rakyat”. (2006), Teropong Pendidikan Indonesia: Antologi Artikel 2005-2006. Jakarta: Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional.
Mulyasa, H.E. (2009). Penelitian Tindakan Sekolah: Meningkatkan Produktivitas Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Purwanto, Ngalim M. (2007). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suwarno, Wiji. (2010). Pengetahuan Dasar Kepustakaan: Sisi Penting Perpustakaan dan Pustakaan. Bogor: Ghalia Indonesia.

J. Lampiran
1. Rincian Anggaran Biaya Penelitian
2. Daftar Riwayat Hidup Peneliti



Lampiran I
RINCIAN ANGGARAN PENELITIAN

1. Biaya Pelaksanaan Supervisi (3 Org) = Rp. 3.000.000,-
2. Biaya untuk Pelaksana Supervisi = Rp. 1.000.000,-
3. Biaya Operasional Penelitian = Rp. 500.000,-
4. Biaya Kebutuhan Penyusunan Hasil Penelitian = Rp. 500.000,-
+
Total Anggaran Biaya = Rp. 5.000.000,-













Lampiran II
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI


(Dari kiri ke kanan)
Nama Lengkap : Fatimatuzzahro
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Maret 1991
Riwayat Pendidikan : 1. SDN Tengah 01 Pagi Jakarta (2002).
2. MTs PPMI Assalaam Solo (2005).
3. MA PPMI Assalaam Solo (2008).
4. STAI Darunnajah Jakarta (Sekarang).
Nama Lengkap : Tiam Astuti
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 November 1988
Riwayat Pendidikan : 1. MAN 10 Jakarta (2007).
2. STAI Darunnajah (Sekarang).

TIPOLOGI KEPRIBADIAN WILLIAM H. SHELDON

TIPOLOGI KEPRIBADIAN WILLIAM H. SHELDON
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Kepribadian
Dosen Pembimbing:
Dudun Ubaedullah, M.A.




Disusun Oleh:
Fatimatuzzahro
0308376

PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Psikologi (ilmu jiwa) mengalami perkembangan terus menerus sesuai dengan tuntutan hidup manusia. Dalam perkembangannya Psikologi belum mencapai titik puncaknya karena ia sampai pada abad modern ini masih tetap dalam penyempurnaan. Dalam usaha penyempurnaan itu para ahli Psikologi senantiasa menciptakan metode-metode baru guna penyelidikan lebih luas dan dalam. Salah satunya ialah penelitian yang dilakukan oleh William Herbert Sheldon, seorang psikolog Amerika. Dari hasil penelitiannya dengan pendapat-pendapat yang telah ada dan disempurnakan dengan pengetahuan klinisnya serta pengalamannya, ia dapat menyimpulkan tipologi-tipologi manusia.
Maka dalam makalah ini akan dibahas teori keprbibadian menurut Sheldon, yaitu: aspek jasmani individu berupa komponen jasmani primer dan komponen jasmani sekunder, komponen primer daripada temperamen, dan hubungan antara jasmani dan gangguan kejiwaan.



BAB II
TIPOLOGI KEPRIBADIAN WILLIAM H. SHELDON

William Herbert Sheldon (1898-1977) adalah seorang psikolog Amerika. Menurut William H. Sheldon sebagaimana dikutip pula oleh Agus Sujanto, kepribadian seseorang berhubungan dengan keadaan jasmani yang nampak. Struktur jasmani merupakan hal yang utama, yang mempengaruhi pribadi seseorang. Faktor-faktor genetis dan biologis juga berperan dalam perkembangan kepribadian seseorang. Teori kepribadian Sheldon dibagi menjadi 2: Struktur fisis dan analisa kepribadian.

A. Struktur Fisis
Sheldon membagi aspek jasmani individu menjadi 2 komponen:
1. Komponen Jasmani Primer
Menurut Sheldon terdapat 3 komponen atau dimensi jasmaniah:
a. Endomorphy
b. Mesomorphy
c. Ectomorphy
Penggunaan ketiga istilah itu dihubungkan dengan 3 lapisan pada proses pembentukan foetus (janin) manusia (endoderm, mesoderm, ectoderm). Dominasi alat-alat yang berasal dari lapisan tertentu menentukan dominasi daripada komponen tertentu. Maka menurut Sheldon ada 3 tipe pokok jasmani manusia:
1) Endomorph (komponen endomorphy dominan);
2) Mesomorph (komponen mesomorphy dominan);
3) Ectomorph (komponen ectomorphy dominan).
a) Tipe Endomorph
Individu yang komponen endomorphy-nya tinggi sedangkan kedua komponen lainnya rendah, ditandai oleh: alat-alat dalam dan seluruh sistem digestif (yang berasal dari endoderm) berperan terpenting. Nampak dari luar: lembut, gemuk, tinggi badan relatif rendah.
b) Tipe Mesomorph
Individu yang komponen mesomorphy-nya tinggi sedangkan kedua komponen lainnya rendah, maka bagian-bagian tubuhnya yang berasal dari mesoderm relatif berkembang lebih baik daripada yang lain: otot-otot, pembuluh darah, jantung dominan. Nampak dari luar: kokoh, keras, otot kelihatan bersegi-segi, tahan sakit. Seperti: olahragawan, pengelana, tentara.
c) Tipe Ectomorph
Pada golongan ini organ-organ yang berasal dari ectoderm yang dominan (kulit dan sistem syaraf berperan terpenting). Nampak dari luar: jangkung, dada kecil dan pipih, lemah, otot-otot hampir tidak nampak berkembang.
Selain 3 tipe ideal di atas terdapat 6 tipe campuran yaitu:
1) Endomorph yang mesomorphis;
2) Endomorph yang ectomorphis;
3) Mesomorph yang endomorphis;
4) Mesomporh yang ectomorphis;
5) Ectomorph yang endomorphis;
6) Ectomorph yang mesomorphis.
2. Komponen Jasmani Sekunder
a. Dysplasia
Dengan meminjam istilah Kretschmer, komponen ini menunjukkan setiap ketidaktetapan dan ketidaklengkapan campuran ketiga komponen primer pada berbagai bagian tubuh. Jadi dysplasia itu menunjukkan ketidakselarasan. Dysplasia itu banyak hubungannya dengan ectomorphy. Tipe ini lebih banyak tedapat pada kaum wanita daripada kaum pria.
b. Gynandromorphy
Komponen ini menunjukkan sejauh mana jasmani memiliki sifat-sifat yang biasanya terdapat pada jenis kelamin lawannya, dan ditandai dengan huruf g. artinya orang laki-laki yang mempunyai komponen g tinggi, akan berciri-ciri:
1. Bertubuh lembut,
2. Pinggul besar, dan
3. Sifat-sifat kewanitaan lainnya.
c. Texture (tampan)
Inilah komponen sekunder yang terpenting, yang ditandai dengan huruf t. Orang ini nampak tampan seakan serba berkeseimbangan dalam tubuh.

B. Analisa Kepribadian
Dari penelitiannya, Sheldon menyimpulkan bahwa ada 3 komponen primer dari pada temperamen:
1. Viscerotonia
Komponen ini kelompok sifat-sifatnya berhubungan dengan fungsi dan anatomi alat-alat visceral/digestif (sistem pencernaan). Orang yang viscerotonis itu mempunyai alat pencernaan yang relatif besar dan panjang, dengan hati besar. Sifat-sifat komponen ini ialah:
a. Sikapnya tidak tegang (relaxed);
b. Suka hiburan;
c. Gemar makan-makan;
d. Besar kebutuhannya akan resonansi dari orang lain;
e. Tidurnya nyenyak;
f. Bila menghadapi kesukaran membutuhkan orang lain.
2. Somatotonia
Komponen ini kelompok sifat-sifatnya berhubungan dengan dominasi dan anatomi struktur somatis. Orang yang somatotonis aktivitas otot-otot sekehendaknya dominan. Orang yang termasuk golongan ini gemar akan ekspresi muskuler, suka mengerjakan sesuatu yang menggunakan otot, suka mendapat pengalaman fisik. Sifat-sifat temperamen komponen ini ialah:
a. Sikapnya gagah;
b. Perkasa (energetic);
c. Kebutuhan bergerak besar;
d. Suka berterus terang;
e. Suara lantang;
f. Nampaknya lebih dewasa dari sebenarnya;
g. Bila menghadapi kesukaran butuh melakukan gerakan-gerakan.
3. Cerebrotonia
Sebenarnya Sheldon belum pasti benar tentang penamaan ini. Dinamakan demikian karena dikirakan bahwa aktivitas pokok adalah perhatian dengan sadar, serta inhibisi terhadap gerakan-gerakan jasmaniah. Sifat-sifat temperamen komponen ini ialah:
a. Sikapnya kurang gagah, ragu-ragu;
b. Reaksinya cepat;
c. Kurang berani bergaul dengan orang banyak (sociophobia);
d. Kurang berani berbicara di depan banyak orang;
e. Kebiasaan-kebiasaannya tetap, hidup teratur;
f. Suara kurang bebas;
g. Tidur kurang nyenyak (sukar);
h. Nampak lebih muda dari yang sebenarnya;
i. Bila menghadapi kesukaran butuh mengasingkan diri.
Hubungan antara Jasmani dan Gangguan-gangguan Kejiwaan
Penyelidikan-penyelidikan Sheldon tidak hanya terbatas pada orang-orang yang normal saja, tetapi juga masalah-masalah ketidaknormalan. Hasil penyelidikannya mengenai ini (bersama-sama dengan With Katz), Sheldon mengemukakan perihal gangguan kejiwaan terdiri dari 3 dimensi primer. Ketiganya berhubungan dengan kategori-kategori yang biasa digunakan dalam diagnosis psikiatris. Adapun komponen-komponen psikiatris itu ialah:
1. Affektive, terdapat pada psikosis jenis manis-depresif (antara ekstrem gembira dan ekstrem sedih, depresif).
2. Paranoid, terdapat pada para penderita psikosis jenis paranoid (banyak angan-angan, pikiran yang sangat jauh dari kenyataan: merasa diancam, merasa diri terlalu besar, dan sebagainya).
3. Heboid, terdapat pada para penderita hebephrenia, suatu bentuk dari schizophrenia (a sosial, anti sosial).











BAB III
PENUTUP

Demikianlah pembahasan makalah ini tentang tipologi kepribadian menurut William Herbert Sheldon. Dari ulasan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Sheldon membagi aspek jasmani manusia menjadi 3, yaitu: komponen jasmani primer dan komponen jasmani sekunder. Di samping itu Sheldon dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada 3 komponen primer dari temperamen, yaitu: Viscerotonia, Somatotonia, dan Cerebrotonia. Pada gangguan kejiwaan, Sheldon mengemukakan ada 3 dimensi primer yang berhubungan pula dengan diagnosis psikiatris berupa komponen-komponen: Affektive, Paranoid, dan Heboid.









DAFTAR PUSTAKA

- Sujanto, Agus. dkk. 2009. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara.
- Suryabrata, Sumadi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- http://en.wikipedia.org/wiki/William_Herbert_Sheldon
- http://images.sanctuary99.multiply.multiplycontent.com/.../23%20maret%2009.ppt

PEMAHAMAN TAKSONOMI BLOOM DAN PENERAPAN DALAM PAI

PEMAHAMAN TAKSONOMI BLOOM DAN PENERAPAN DALAM PAI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah MPAI










Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376






Dosen Pembimbing:
Hj. Dzaatil Husni Binti Ali, M. A.




PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka evaluasi hasil belajar yang harus selalu diperhatikan ialah prinsip dimana evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif) dan pengalamannya (aspek psikomotor). Ketiga ranah tersebut sangat erat hubungannya dengan kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar, untuk itu di dalam makalah ini akan dibahas secara lebih luas.



















BAB II
PEMAHAMAN TAKSONOMI BLOOM DAN PENERAPAN DALAM PAI

Dalam sejarah pengukuran dan penilaian pendidikan tercatat, bahwa pada kurun waktu tahun empat puluhan, beberapa orang pakar pendidikan di Amerika Serikat yaitu Benjamin S. Bloom, M. D. Englehart, E. Furst, W. H. Hill, Daniel R. Krathwohl dan didukung pula oleh Ralph E. Tylor, mengembangkan suatu metode pengklasifikasian tujuan pendidikan yang disebut taxonomy. Ide untuk membuat taksonomi itu muncul setelah lebih kurang lima tahun mereka berkumpul dan mendiskusikan pengelompokan tujuan pendidikan, yang pada akhirnya melahirkan sebuah karya Bloom dan kawan-kawannya itu, dengan judul: Taxonomy of Educational Objectives (1956).
Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu pada tiga jenis domain (= daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: Ranah proses berpikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar, yaitu: Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan kepada mereka?, apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?, dan apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?.

A. Ranah Kognitif (Cognitive Domain)
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi, ialah:
1. Pengetahuan (knowledge) adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah peserta didik dapat menghafal surat al-Ashr, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru pendidikan agama Islam di sekolah.
2. Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Contohnya, peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-Ashr secara lancar dan jelas.
3. Penerapan atau aplikasi (application) adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkret. Contohnya, peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
4. Analisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau factor-faktor yang satu dengan factor-faktor lainnya. Contohnya: peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa di rumah, di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari ajaran Islam.
5. Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Contohnya, peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagaimana telah diajarkan oleh Islam. Dalam karangannya itu peserta didik juga dapat mengemukakan secara jelas, amanat Bapak Presiden Soeharto dalam Upacara Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1995 yang telah mencanangkan kedisiplinan nasional, baik kedisiplinan kerja, kedisiplinan dalam hal kebersihan dan menjaga kelestarian alam, maupun kedisiplinan dalam mentaati peraturan lalu lintas, yang pada hakikatnya adalah merupakan perintah Allah SWT sebagaiman tersebut dalam suarh al-Ashr.
6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation) adalah kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide, misalnya jika seseorang dihadapakan pada beberapa pilihan yang terbaik, sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada. Contohnya adalah peserta didik mampu menimbang-nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang berlaku disiplin dan dapat menunjukkan mudharat atau akibat-akibat negatif yana akan menimpa seseorang yang bersifat malas atau tidak berdisiplin, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan penilaian, bahwa kedisiplinan merupakan perintah Allah SWT yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.


B. Ranah Afektif (Affective Domain)
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran agama di sekolah, dsb. Dalam ranah afektif terdapat lima jenjang:
1. Receiving atau attending (= menerima atau memperhatikan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Contoh hasil belajar afektif jenjang receiving, peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan sifat malas dan tidak berdisiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
2. Responding (= menanggapi) mengandung arti ”adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Contohnya, peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.
3. Valuing (menilai = menghargai) menilai dan menghargai artinya memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian dan penyesalan. Contohnya, tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri peserta diri untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
4. Organization (= mengatur atau mengoraganisasikan) artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai yang lainnya. Contohnya, peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Soeharto pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 1995.
5. Characterization by a Value or Value Complex (= karakeristisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Contohnya, siswa telah memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah yang tertera dalam al-Qur’an surat al-Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

C. Ranah Psikomotor ( Psychomotor Domain)
Perkataan psikomotor berhubungan dengan kata ”motor”,” sensory-motor atau perceptual-motor.” Jadi ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot sehingga menyebabkan gerak tubuh atau bagian-bagiannya. Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Terdapat 5 tingkatan, yaitu:
1. Persepsi. Langkah pertama dalam melakukan kegiatan yang bersifat motoris ialah menyadari obyek, sifat, atau hubungan-ghubungan melalui alat indera.
2. Set. Set adalah kesiapan untk melakukan suatu tindakan atau untuk bereaksi terhadap sesuatu kejadian menurut cara tertentu. Ada tiga aspek set, yaitu aspek intelektuakl, aspek fisis, dan aspek emosional.
3. Respon terbimbing. Inilah tingkat pemulaan dalam mengembangkan ketermpilan motoris. Yang ditekankan ialah kemampuan-kemampuan yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih kompleks. Respon terbimbing aalah perbuatan individu yang dapat diamati, yang terjadi dengan bimbingan individu lain.
4. Respon mekanistis. Pada taraf ini siswa sudah yakin akan kemampuannya dan sedikit banyak sudah terampil melakukan suatu perbuatan. Sudah terbentuk kebiasaan dalam dirinya untuk ber-respon sesuai dengan jenis-jenis perangsang dan situasi yang dihadapi.
5. Respon kompleks. Pada taraf ini individu dapat melakukan perbuatan motoris yang boleh dianggap kompleks, karena pola gerakn yang dituntut sudah kompleks. Perbuatan itu dapat dilakukan secara efisien dan lancar, yaitu dengan menggunakan tenaga dan waktu yang sesedikit mungkin.

Jika hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif dengan materi tentang kedisiplinan menurut ajaran Islam sebagaimana telah dikemukakan, maka wujud nyata dari hasil belajar psikomotor yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif iatu adalah: Peserta didik bertanya kepada guru pendidikan agama Islam tentang contoh-contoh kedisiplinan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw, para sahabat, para ulama dan lain-lain; peserta didik mencari dan membaca buku-buku, majalah-majalah atau brosur-brosur, surat kabar dan lain-lain yang membahas tentang kedisiplinan.

Referensi:
- Arikunto, Suharsimi. 1996. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
- Popham, W. James dan Eva L. Baker. 1981. Bagaimana Mengajar Secara Sistematis. Yogyakarta: Kanisius.
- Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an




Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376

Dosen Pembimbing:
Jamaluddin Sholihin, M. A.

PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010


BAB I
PENDAHULUAN

Untuk memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar maka untuk menunjangnya perlu dipahami pula alat untuk mempelajari Al-Qur’an. Salah satunya ialah tafsir. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah perkembangan tafsir sejak periode Nabi, periode sahabat, hingga periode tabi’in. juga syarat dan adab bagi mufassir.












BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

A. Perkembangan Tafsir Pada Periode Nabi
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi saw sendiri dan beliaulah penafsir awal (al-Mufassirul Awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Rasul saw setiap menerima ayat Al-Qur’an langsung menyampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan mana yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah itu adakalanya dengan Sunnah Qauliyah, adakalanya dengan Sunnah Fi’liyah dan adakalanya dengan Sunnah Taqririyah. Dalam pada itu tafsir yang diterima dari Nabi sendiri sedikit sekali. Kata ‘Aisyah r.a. : “Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja, menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan Jibril”.

B. Perkembangan Tafsir Pada Periode Sahabat
Sesudah Rasulullah wafat barulah para sahabat merasa perlu bangun menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.
Kata Abdur Rahman As-Salamy: “Orang-orang yang mengajarkan kami Al-Qur’an, seperti Usman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud dan lain-lain menerangkan kepada kami bahwasanya apabila mereka mempelajari dari Nabi sepuluh ayat Al-Qur’an, mereka tidak mempelajari ayat-ayat yang lain dahulu sebelum mereka mempelajari ayat-ayat yang sepuluh itu. Mereka berkata: ‘Kami nukilkan dari Rasulullah Qur’an, ilmu dan amal’.” Memang apabila mereka tiada mengetahui makna sesuatu lafadz Al-Qur’an, atau sesuatu maksud ayat, segeralah mereka bertanya kepada Rasul sendiri, atau kepada sesama sahabat yang dipandang dapat menjelaskan.
Tiadalah semua sahabat sederajat dalam memahami Al-Qur’an karena menurut kenyataan, tidaklah semua anggota suatu masyarakat mengetahui dengan sempurna seluruh kata-kata dari bahasa yang dipergunakan masyarakat itu. Ada di antara mereka yang luas ilmunya tentang kesusasteraan jahiliyah, ada yang tidak. Ada yang terus-menerus menyertai Rasul, dapat mempersaksikan sebab nuzul, ada yang tidak. Ada di antara mereka yang mengetahui dengan sempurna adat istiadat bangsa Arab dalam pemakaian bahasa, ada yang tidak dan sebagainya. Para sahabat pada umumnya tidak menulis tafsir (hadits-hadits tafsir). Mereka tidak suka menulisnya adalah karena takut tercampur baur dengan Al-Qur’an.
Para ulama ahli tafsir di zaman para sahabat di antaranya ialah: Abdullah ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Abu Bakar ash-Shiddieq, Umar ibn Khattab, Umar ibn al-Khattab, Utsman ibn ‘Affan, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Zubair.
Para sahabat mempunyai dua aliran dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. At-Tafsir bi al-Ma’tsur (At-Tafsir bi al-Manqul), yang menafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat (hadits Rasul) atau atsar (pendapat-pendapat para sahabat).
2. At-Tafsir bi ar-Ra’yi wal ijtihad (At-Tafsir bi al-Ma’qul), yang di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat mempergunakan ijtihad dan akal, berpegang kepada kaedah-kaedah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasa.

C. Perkembangan Tafsir Pada Periode Tabi’in
Para sahabat Nabi yang ahli tafsir Al-Qur’an, banyaklah di antara mereka yang kemudian mengajarkan tafsir Al-Qur’an kepada para muridnya yang sungguh belajar kepada mereka yaitu para tabi’in. Di antara mereka para tabi’in yang ahli tafsir ialah: Sa’id ibn Zubair, Ikrimah, Mujahid, ‘Athaa ibn Abi Rabah, Muhammad ibn Ka’ab, Abil ‘Aliyah, Hasan Bashri, Athaa ibn Abi Salamah, Qatadah, ar-Rai’in Anas, Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam, ad-Dhahhak ibn Muzaahim, ‘Athiyah al-‘Ufi, Murrah al-Hamdani, dan Abu Malik.
Para ulama tabi’in mempunyai dua manhaj (aliran) dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Manhaj Muhadditsin, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan manqul.
2. Manhaj Aqiliyyin (Ijtihadiyyin), yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ma’qul.
Pada periode ini terdapat tafsir-tafsir yang disusun oleh firqah-firqah Islam yang masuk dalam kategori yang dicela lantaran pengarang-pengarangnya menulis tafsir-tafsir itu untuk mengokohkan pendirian mereka atau untuk membela mazhab mereka. Di antaranya ialah tafsir-tafsir Mu’tazilah, Mutawassifah dan Bathiniyah.
Tafsir-tafsir Mu’tazilah sangat dipengaruhi oleh akal dan oleh ilmu mantiq berdasar pada kaidah mereka: “Yang baik, ialah dipandang baik oleh akal dan yang buruk, ialah yang dipandang buruk oleh akal”. Nash-nash yang diperoleh Nabi dijadikan pegangan yang kedua, sedikit sekali mereka mempergunakan nash-nash itu untuk menerangkan makna-makna ayat. Tafsir-tafsir golongan Mutasawwifah dipengaruhi oleh syathahat-syatahat sufiyah yang menjauhkan mereka dari susunan Al-Qur’an dan menjadikan perkataan mereka, sulit dan sukar dipahami, yang hanya dapat dipakai oleh orang-orang yang telah mempelajari uslub-uslub Mutasawwifah. Tafsir Bathiniyah hanya mengambil batin Al-Qur’an dan mengabaikan lahirnya. Di dalamnya kita temui takwil-takwil yang salah yang berlawanan dengan dasar-dasar syara’ dan kaidah bahasa.

D. Syarat dan Adab Bagi Mufassir
Keterangan dan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang harus diketahui dan diinsafi lebih dahulu oleh para mufassir Al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu menjadi pedoman agama yang memimpin umat manusia kepada segala sesuatu yang mendatangkan atau mebawa kebahagiaan mereka di alam dunia dan kesejahteraan mereka kelak di akhirat. Jadi para penafsir Al-Qur’an itu hendaklah lebih dahulu mengerti akan tujuan itu.
Selanjutnya, para penafsir Al-Qur’an iu sebelum berusaha hendak menafsirkan Al-Qur’an, terlebih dahulu haruslah mengerti beberapa macam ilmu pengetahuan sebagai alatnya. Antara lain ialah:
1. Penguasaan ilmu bahasa Arab;
a. Kosakata Al-Qur’an, penting karena sering dijumpai di dalam kitab suci itu kata-kata yang mengandung pengertian lebih dari satu.
b. Ilmu Nahwu (sintaksis), membahas hal-hal yang berhubungan dengan susunan kata, struktur kalimat, perubahan jabatan kata dan sebagainya.
c. Ilmu Sharf (morfologi), membahas bentuk suatu kata dan pengembangannya seperti ibdal, idgham, dan sebagainya.
d. Ilmu Etimologi; ilmu tentang asal usul kata.
e. Ilmu Balaghat (retorika/metafora); ada tiga aspek di dalam ilmu ini. Pertama, ilmu ma’ani (semantik), membahas makna atau konotasi suatu kata atau kalimat. Kedua, ilmu bayan, membahas pola penyusunan kalimat yang bervariasi dalam menyampaikan suatu maksud. Ketiga, ilmu badi’, membahas pola penyusunan ungkapan atau kalimat yang indah.
2. Ilmu Qira’at; membahas cara-cara membaca Al-Qur’an.
3. Ilmu Ushuluddin; membahas kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sifat Allah dan yan berhubungan dengan masalah Arkanul Iman.
4. Ilmu Ushul Fiqh; seorang mufassir harus dapat, sanggup dan mampu mengetahui tentang segi-segi istidlal (pembuktian) tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.
5. Ilmu Asbabun Nuzul; pengetahuan tentang sebab-sebab atau latar belakang turunnya ayat.
6. Ilmu Nasikh dan Mansukh; pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang dinasikhkan dan dimansukhkan.
7. Ilmu Hadits; untuk memyempurnakan dan memberi penjelasan secara rinsi berdasarkan penjelasan dan penafsiran sunnah Nabi.
8. Ilmu Mauhabah; ilmu tentang segi-segi I’jaznya Al-Qur’an di kalangan ahli Tahqiq yang dimaksud ialah ilmu ladunny yaitu ilmu yang langsung diberikan oleh Allah pada orang yang mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Persyaratan seseorang penafsir Al-Qur’an dengan mengetahui ilmu Mauhabah adalah pendapat as-Sayuti.
9. Ilmu sains dan teknologi; karena di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan isyarat tentang sains dan teknologi.
Seorang mufassir itu harus lurus (jujur) dalam ia menfsirkan Al-Qur’an dan mendapat hidayah dari Allah swt. Imam Abu Wa’il ath-Thabary menguraikan tentang adab (akhlak) bagi mufassirin:
1. Hendaklah mufassir itu mempunyai akidah yang sah (murni);
2. Hendaklah mufassir iru kuat serta teguh pendiriannya pada sunnah Nabi saw dan ajaran agama Islam.
Dan dalam menafsirkan Al-Qur’an itu janganlah ada di belakangnya maksud tertentu untuk menafsirkannya, seperti dorongan hawa nafsu atau dengan dorongan keduniaan. Imam ath-Thabary menyatakan: “Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menafsirkan Al-Qur’an yaitu niatnya yang sah yang tergambar dalam perkataannya, tulisannya hendaklah tepat dan benar tidak berbelit-belitdalam menafsirkan Al-Qur’an.

Referensi:
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
- Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Kholil, Moenawar. 1985. Al-Qur’an dari Masa ke Masa. Solo: Ramadhani.
- Syurbasyi, Ahmad. 1999. Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Jakarta: Kalam Mulia.

PROSEDUR PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN

PROSEDUR PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah Teknologi Pendidikan

Dosen Pembimbing :
H. Dudun Ubaedullah, M.A.





DISUSUN OLEH :

Tiam Astuti
0308374
&
Fatimatuzzahro
0308376





PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Pembelajaran yang efektif memerlukan perencanaan yang baik. Media yang akan digunakan dalam proses pembelajaran itu juga memerlukan perencanaan yang baik. Oleh sebab itu perlu dilakukan pemilihan media pembelajaran, karena media merupakan salah satu komponen utama dalam pembelajaran selain tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Proses pemilihan menjadi penting karena kedudukan media yang strategis untuk keberhasilan pembelajaran. Maka proses pemilihan media tersebut harus menggunakan prosedur yang tepat.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai model-model prosedur pemilihan media pembelajaran, seperti model ACTION, model ASSURE, serta prinsip-prinsip psikologis yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan dan penggunaan media.









BAB II
PROSEDUR PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN

A. Model Pemilihan Media Pembelajaran ACTION
ACTION merupakan akronim dari ACCESS, COST, TECHNOLOGY, INTERACTIVITY, ORGANIZATION dan NOVELTY.
1. ACCESS
Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dalam pemilihan media. Apakah media yang kita perlukan itu tersedia, mudah, dan dimanfaatkan oleh murid? Misalnya kita ingin menggunakan media internet, lebih dipertimbangkan dahulu apakah ada saluran untuk koneksi ke internet? Apakah juga menyangkut aspek kebijakan, misalnya apakah murid diizinkan untuk menggunakannya? Komputer yang terhubung ke internet jangan hanya digunakan untuk kepala sekolah, tapi juga guru, dan yang lebih penting untuk murid. Murid harus memperoleh akses. Dalam hal ini media harus merupakan bagian dalam interaksi dan aktivitas siswa, bukan hanya guru yang menjadi media tersebut.
2. COST
Biaya juga harus dipertimbangkan. Banyak jenis media yang dapat menjadi pilihan kita. Pada umumnya media canggih biasanya cenderung mahal. Namun, mahalnya biaya itu harus kita hitung dengan aspek manfaatnya. Semakin banyak yang menggunakan, maka unit cost dari sebuah media akan semakin menurun. Media yang efektif tidak selalu mahal, jika guru kreatif dan menguasai materi pelajaran maka akan memanfaatkan objek-objek akan dijadikan sebagai media dengan biaya yang murah namun efektif.
3. TECHNOLOGY
Mungkin saja kita tertarik kepada satu media tertentu. Tapi kita perlu perhatikan apakah teknologinya tersedia dan mudah menggunakannya? Katakanlah kita ingin menggunakan audio visual di kelas. Perlu kita pertimbangkan, apakah ada listrik, voltase listrik cukup dan sesuai?
4. INTERACTIVITY
Media yang baik adalah media yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau interaktivitas. Setiap kegiatan pembelajaran yang mudah dikembangkan tentu saja memerlukan media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut. Jadikan media itu sebagai alat bantu siswa dalam beraktivitas, misalnya puzzle untuk anak SD, siswa dapat menggunakannya sendiri, menyusun gambar hingga lengkap, flash card dapat dikondisikan dalam bentuk permainan dan semua siswa terlibat baik secara fisik, intelektual maupun mental.
5. ORGANIZATION
Pertimbangan yang juga penting adalah dukungan organisasi. Misalnya, apakah pimpinan sekolah atau yayasan mendukung? Bagaimana pengorganisasiannya. Apakah media sekolah ini tersedia satu unit yang disebut pusat sumber belajar?
6. NOVELTY
Kebaruan dari media yang anda pilih juga harus menjadi pertimbangan media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih menarik bagi siswa. Di antara media yang relatif baru adalah media yang memanfaatkan teknologi informasi dalam komunikasi dan komunikasi khususnya penggunaan internet.

B. Model Pemilihan Media Pembelajaran ASSURE
Heinich, dan kawan-kawan (1982) mengajukan model perencanaan penggunaan media yang efektif yang dikenal denagn istilah ASSURE. (ASSURE adalah singkatan dari Analyze learner characteristics, State objective, Select, or modify media, Utilize, Requiry learner response, and Evaluate. Model ini menyarankan enam kegiatan utama dalam perencanaan pembelajaran sebagai berikut:
(A) Menganalisis karakteristik umum kelompok sasaran, apakah mereka siswa sekolah lanjutan atau perguruan tinggi, anggota organisasi pemuda, perusahaan, usia, jenis kelamin, latar belakang budaya dan sosial ekonomi, serta menganalisis karakteristik khusus mereka yang meliputi antara lain pengetahuan, keterampilan, dan sikap awal mereka.
(S) Menyatakan atau merumuskan tujuan pembelajaran, yaitu perilaku atau kemampuan baru apa (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang diharapkan siswa miliki dan kuasai setelah proses belajar mengajar selesai. Tujuan ini akan mempengaruhi pemilihan media dan urutan-urutan penyajian dan kegiatan belajar.
(S) Memilih, memodifikasi, atau merancang dan mengembangkan materi dan media yang tepat. Apabila materi dan media pembelajaran yang telah tersedia akan dapat mencapai tujuan, materi dan media itu sebiknya digunakan untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Di samping itu perlu pula diperhatikan apakah materi dan media itu akan mampu membangkitkan minat siswa, memiliki ketepatan informasi, memiliki kualitas yang baik, memberikan kesempatan bagi siswa untuk berparisipasi, telah terbukti efektif-jika pernah diuji-cobakan, dan menyiapkan petunjuk untuk berdiskusi atau kegiatan follow-up. Apabila materi dan media yang ada tidak cocok dengan tujuan atau tidak sesuai dengan sasaran partisipan, materi dan media itu dapat dimodifikasi. Jika tidak memungkinkan untuk memodifikasi yang telah tersedia, barulah memilih alternatif ketiga yaitu merancang dan mengembangkan materi dan media yang baru. Tentu saja kegiatan ini jauh lebih mahal dari segi biaya, waktu dan tenaga. Namun demikian kegiatan ini memungkinkan untuk menyiapkan materi dan media yang tetap dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
(U) Menggunakan materi dan media. Setelah memilih materi yang media yang tepat, diperlukan persiapan bagaimana dan berapa banyak waktu diperlukan untuk menggunakannya. Di samping praktek dan latihan menngunakannya, persiapan ruaangan juga diperlukan seperti tata letak tempat duduk siswa, fasilitas yang diperlukan seperti meja peralatan, listrik, layar, dan lain-lain harus dipersiapkan sebelum penyajian.
(R) Meminta tanggapan dari siswa. Guru sebaiknya mendorong siswa untuk memberikan respons dan umpan balik mengenai keefektivan proses belajar mengajar. Respons siswa dapat bermacam-macam, seperti mengulangi fakta-fakta, mengemukakan ikhtisar atau rangkuman informasi/pelajaran, atau menganalisis alternatif pemecahan masalah/kasus. Dengan demikian, siswa akan menampakkan partisipasi yang lebih besar.
(E) Mengevaluasi proses belajar. Tujuan utama evaluasi di sini adalah untuk mengetahui tingakat pencapaian siswa mengenai tujuan pembelajaran, keefektifan media, pendekatan, dan guru sendiri.
Dari segi teori belajar, berbagai kondisi dan prinsip-prinsip psikologis yang perlu mendapat pertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan media adalah sebagai berikut:
1. Motivasi 8. Umpan balik
2. Perbedaan individual 9. Penguatan
3. Tujuan pembelajaran 10. Latihan dan pengulangan, dan
4. Organisasi isi 11. Penerapan
5. Persiapan sebelum belajar
6. Emosi
7. Partisipasi
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan dalam bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat model pemilihan media pembelajaran ACTION, yaitu: Access, Cost, Technology, Interactivity, Organization, and Novelty. Kemudian model pemilihan media pembelajaran ASSURE, yaitu: Analyze learner characteristics, State objective, Select, or modify media, Utilize, Requiry learner response, and Evaluate.
Prinsip-prinsip psikologis yang perlu dipertimbangan dalam pemilihan dan penggunaan media, yaitu: Motivasi, perbedaan individual, Tujuan pembelajaran, organisasi isi, persiapan sebelum belajar, emosi, partisipasi, umpan balik, dan penguatan.

Referensi:
Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ALIRAN ILUMINASIONIS (SUHRAWARDI)

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ALIRAN ILUMINASIONIS (SUHRAWARDI)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam



Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376

Dosen Pembimbing:
Dayang Salamah, M. Pd.

PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Untuk dapat mengenal pendidikan secara lebih mendalam perlu ditelaah pandangan-pandangan para filosof mengenai pendidikan. Dalam makalah ini akan dibahas tentang pendidikan Islam dalam pemikiran aliran Iluminasionis (Suhrawardi). Terdapat biografi singkat Suhrawardi, hasil pemikirannya yaitu














BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ALIRAN ILUMINASIONIS (SUHRAWARDI)

A. Biografi Singkat Suhrawardi
Nama lengkap Suhrawardi ialah ‘Abu al-Futuh Yahya bin Habasy bin ‘Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/1153 M, di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Di usianya yang terbilang sangat muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing ruhaninya. Suhrawardi merantau ke Persia, Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.
Wilayah yang pertama kali dikunjungi Suhrawardi adalah Maragha, yang berada di kawasan Azebaijan. Ia belajar falsafah, hukum, dan teologi kepada Majd ad-Din al-Jili. Suhrawardi kemudian meneruskan perjalanannya ke Isfahan, Iran Tengah. Di sini ia belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qari. Suhrawardi meneruskan perjalanannya ke Anatolia, di sana adalah puncaknya kejayaan Bani Saljuq dalam bidang sastra khususnya fiksi liris-romantik. Setelah memperoleh pengetahuan formalnya, Suhrawardi pergi menuju Persia, yang dikenal sebagai tempat awal munculnya gerakan sufi dan gudang tokoh-tokoh sufi. Suhrawardi tertarik pada ajaran dan doktrin Tasawuf dan akhirnya ia menekuni mistisisme. Pada akhirnya, dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian, yakni falsafah dan tasawuf, sehingga ia menjadi seorang filsuf sekaligus seorang sufi.
Suhrawardi mengakhiri petualangannya di Syria. Dari Damaskus ia kemudian pergi menuju Aleppo, dan di sana ia bertemu dan bersahabat dengan gubernur Aleppo, Malik azh-Zhahir. Malik sangat menghargai dan menghormati para ulama, cendekiawan, dan ahli pikir. Kecenderungannya Malik itu menyebabkannya sangat tertarik dan cocok dengan cara berpikir Suhrawardi. Ia mengundang Suhrawardi untuk menjelaskan ide-ide pemikirannya. Namun sangat disayangkan bahwa penghormatan dan penghargaan yang diberikan Malik kepada Suhrawardi tidak diikuti oleh para fuqaha pada saat itu. Pada saat itu persaingan antara ahli fiqh (fuqaha) dan ahli tasawuf (sufi) sudah mulai terasa. Mereka merasa cemburu dan tersaingi tampilnya fisuf muda berbakat itu. Perasaan tersebut mendororng mereka untuk memusuhi dan melenyapkan Suhrawardi. Mereka memanfaatkan kelemahan Suhrawardi yang menyampaikan keyakinan-keyakinan batiniyahnya secara terbuka. Suhrawardi dianggap menonjolkan unsur kebatinan dan dalam wacana teologis ia cenderung kepada paham Syi’ah, khususnya Isma’iliyah. Sedangkan pada saat itu, toleransi beda pendapat sangat dibatasi dan dikekang. Mereka lalu mengajukan tuntutan kepada Malik azh-Zhahir agar Suhrawardi dikenakan hukuman mati, akan tetapi Malik tidak sependapat. Maka mereka kemudian mengajukan secara langsung kepada Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang menguasi Yaman, Mesir, dan Syria. Karena alasan beda corak pemikiran dan lain aliran dengan Suhrawardi, juga karena para fuqaha merasa telah ikut berjasa dalam membendung tentara salib, Sultan Shalahuddin pun mengabulkan desakan dan tuntutan para fuqaha.
Akhirnya dengan amat terpaksa, Malik azh-Zhahir pun melaksanakan tuntutan tersebut dan mengeksekusi Suhrawardi dengan hukuman penjara. Namun demikian, penyebab langsung dari kematian Suhrawardi tidak jelas dan masih menjadi misteri. Dalam kaitannya ini, Ziai mengatakan bahwa Suhrawardi mati dihukum gantung. Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 578 H/1191 M, dalam usia 36 tahun menurut kalender Syamsiyyah dan 38 tahun menurut kalender Qamariyyah.
B. Ajaran Iluminasi
Filsafat Isyraqiyah atau teosofi, menjadi lebih tepat didasarkan pada metafisika cahaya. Pemula dan sumber segala sesuatu adalah cahaya atas segala cahaya (nur al-anwar), yang merupakan cahaya absolut dan tidak terbatas di atas dan di belakang semua sinar yang memancar. Karena kenyataannya tak ada sesuatu pun dalam alam semesta yang luas ini melainkan cahaya. Dari cahaya di atas segala cahaya ada suatu hirarki cahaya-cahaya, vertikal maupun longitudinal, cahaya-cahaya yang terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi universal dan suatu tatanan horizontal atau latitudinal (melintang), yang berisi pola dasar (rabb al-naw’). Cahaya-cahaya ini tidak lain daripada apa yang dalam agama disebut malaikat-malaikat. Suhrawardi memberi nama terhadap malaikat-malaikat Mazdean dan juga Islam dengan cahaya-cahaya ini, dan menghasilkan peranan sentral dalam kosmologi dan juga epistemologi dan soteriologi.
Kata Isyraq dalam bahasa Arab berarti iluminasi dan sekaligus juga cahaya pertama pada pagi hari, seperti cahaya matahari dari timur (syarq). Timur tidak hanya berarti timur secara geografis tetapi awal cahaya, yakni realitas. Filsafat Isyraqiyah berarti “ketimuran” dan “iluminatif.” Ia adalah pengetahuan dengan pertolongan, yang manusia dapat menyesuaikan dirinya sendiri dalam alam semesta dan akhirnya menjangkau bahwa Timur adalah tempat kediaman yang azali.
Suhrawardi melihat filsafat yang benar sebagai hasil dari perkawinan antara latihan intelektual teoritik melalui filsafat dan pemurnian hati melalui Sufisme. Makna pencapaian pengetahuan tertinggi yang ia anggap iluminasi, sekaligus mentransformasikan dan melimpahnya pengetahuan seseorang. Filsafat sebagai suatu aktivitas mental, yang lepas dari realisasi spiritual dan kehidupan batin dan filsafat Islam lebih lanjut menjadi sophia yang senantiasa dimiliki dalam tradisi-tradisi ketimuran, yaitu suatu hikmah yang hidup, pengalaman, pemikiran dan juga penalaran.

C. Pandangan Suhrawardi Tentang Cara-Cara Memperoleh Pengetahuan
Suhrawardi menegaskan pandangannya tentang bagaimana pengetahuan diperoleh yang terdiri dari tiga tangga. Tangga pertama ditandai dengan aktivitas sebagian filosof: ia harus “memisahkan dunia”. Tangga kedua ditandai dengan pengalaman-pengalaman tertentu: filosof mencapai pancaran-pancaran suatu “Cahaya Tuhan” (al-nur al-Ilahi). Tangga ketiga ditantadi dengan perolehan pengetahuan yang tak terbatas dan tak terikat, yaitu pengetahuan iluminasi (al-ilm al-isyraqi).
Filsafat Iluminasi terdiri dari tiga tingkat yang berkaitan dengan persoalan pengetahuan – bagaimana mempersiapkan, mengalaminya, menerimanya melalui iluminasi, menyusunnya dalam suatu pandangan sistematik tentangnya. Ditambah dengan suatu tingkat tambahan yang terdiri dari proses mengungkapkan hasil-hasil pengalamn iluminasi dan pencarian tentangnya dalam bentuk tulisan.
Secara lebih rinci bahwa tangga pertama adalah aktivitas yang melaluinya filosof mempersiapkan dirinya sendiri bagi pengetahuan iluminasi, suatu jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman”. Tahap kedua adalah tangga iluminasi. Tahap ketiga adalah tahap konstruksi.
Awal tahap pertama diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama empat puluh hari, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk menerima inspirasi dan ilham. Aktivitas-aktivitas semacam itu masuk dalam kategori praktik-praktik asketik dan mistik, meskipun tidak sama pesis dengan pernyataan-pernyataan dan penghentian-penghentian jalan sufi yang ditetapkan, atau tarekat sufi, sebagaimana dikenal dalam karya-karya mistis yang ditemui Suhrawardi. Melalui aktivitas-aktivitas semacam itu, filosof dengan kekuatan intuitifnya, dalam dirinya, terdapat suatu bagian “Cahaya Tuhan” (al-bariq al-ilahi), dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya sendiri melalui “ilham” dan “penyingkapan diri” (musyahadah wa mukasyafah). Atas dasar itu, tahap pertama ini terdiri dari: (1) suatu aktivitas; (2) suatu kondisi (yang ditemui seseorang, karena kita tahu bahwa setiap orang mempunyai intuisi dan dalam diri setiap orang ada bagian tertentu cahaya Tuhan); (3) ilham pribadi.
Tahap pertama mengantarkan kepada tahap kedua, dan Cahaya Tuhan memesuki wujud manusia. Cahaya ini mengambil bentuk serangkaian “cahaya penyingkap” (al-anwar al-sanihah) dan melalui “cahaya-cahaya penyingkap” pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-‘ulum al-haqiqiyah) dapat diperoleh.
Tahap ketiga adalah tahap pembangunan suatu ilmu yang benar (al’ilm al-shahih). Tahap terakhir adalah menurunkan filsafat iluminasi dalam bentuk tulisan.





Referensi:
- Drajat, Amroeni. 2005. Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
- Nasr, Seyyed Hossein. 1996. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. Yogyakarta: CIIS Press.
- Ziai, Hossein. 1998. Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi: Pencerahan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Zaman Wacana Mulia.

PENDIDIKAN INTELEKTUAL (Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36)

PENDIDIKAN INTELEKTUAL
(Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawy






Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376


Dosen Pembimbing:
Taufik, M. Si.


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010

BAB I
PENDAHULUAN


Dalam menuntut ilmu, kita harus selalu belajar diiringi dengan nilai- nilai agama, yang mana bersumber utama dari Al-Quran dan As-sunnah. Untuk itu dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, kita perlu menelaah apa saja yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dalam makalah ini akan dikaji ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan intelektual (Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36).




















BAB II
PENDIDIKAN INTELEKTUAL
(Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36)


A. SURAT YUNUS AYAT 35-36









Artinya:
” Katakanlah: ’Apakah diantara sekutu-sekutu kamu ada yang membimbing kepada kebenaran?’, Katakanlah: ’Allah membimbing menuju kebenaran.’ Maka apakah yang membimbing kepada kebenaran lebih berhak diikuti ataukah yang tidak dapat membimbing kecuali dibimbing? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”. ”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali dugaan saja. Sesungguhnya dugaan tidak sedikit pun berguna menyangkut kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Yunus: 35-36).

( )Yahdi lil Haqq: Membimbing menuju kebenaran, ( ) yahdi ila al-Haqq: Allah membimbing menuju kebenaran , ( ) Zhann: dugaan.
Allah memerintahkan kepada Nabi Saw, agar menanyakan kepada mereka (orang musyrikin), ”Manakah yang lebih berhak untuk diikuti apakah Zat Yang memberikan petunjuk kepada kebenaran ataukah berhala-berhala yang tidak dapat memberikan petunjuk sedikit pun kepada mreka bahkan tidak dapat mengetahui dirinya sendiri.” Mengapa mereka menerima pilihan serupa itu. Kalaulah mereka mau menggunakan akal dan pikiran tentulah mereka akan memilih Zat Yang memberi petunjuk kepada mereka, yaitu Allah. Karena tuhan-tuhan yang lain tidak dapat memberikan petunjuk apapun.
Petunjuk atau hidayah yang diberikan Allah kpd makhluk-Nya bermacam-macam:
1. Hidayah yang diperoleh dengan naluri dan insting yang telah diciptakan oleh Allah pada diri manusia dan hewan.
2. Hidayah yang dapat dicapai dengan panca indera, seperti hidayah yang melalui pendengaran dan penglihatan.
3. Hidayah yang dicapai denagn jalan berpikir dan mengambil petunjuk dari segala macam alat tersebut di atas.
4. Hidayah yang diberikan Allah dengan melalui agama yang diperuntukkan bagi manusia secara keseluruhan yang kedudukannya sama dengan akal untuk masing-masing individu.
5. Hidayah taufik yang dapat dicapai dengan kemauan untuk mencapai kebenaran.
Allah mencela perbuatan mereka dengan menanyakan apakah gerangan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadikan berhala-berhala itu sebagai perantara yang dapat menyampaikan ibadah mereka kepada Allah, padahal berhala-berhala itu bukanlah tuhan yang menciptakan, dan bukan yang memberi rezeki serta bukan pula tuhan yang memberi petunjuk. Maka mengapa mereka mengambil keputusan yang tidak adil yaitu menganggap tuhan-tuhan yang mereka persekutukan itu, sebagai Tuhan Yang berhak disembah, berhak dimintai pertolongan tanpa izin dari Zat Yang menciptakan. Dari sisi ini tampaklah kesesatan orang-orang musyrikin itu kesalahan tindakan mereka.
Sesungguhnya, kebanyakan mereka, dalam kemusyrikan dan peribadatannya kepada selain Allah atau dalam keingkarannya terhadap adanya kebangkitan dan pendustaannya terhadap Rasul saw, hanyalah mengikuti semacam dugaan, yang boleh jadi merupakan dugaan yang lemah belaka. Seperti halnya mereka menyamakan sesuatu yang tidak diketahui dengan barang gaib dengan barang nyata, dan menyamakan sesuatu yang tidak diketahui dengan barang yang diketahui. Mereka hanya taqlid saja kepada nenek moyang mereka, karena mereka yakin nenek moyang itu tak salah kepercayaannya, dan tidak pula sesat dalam perbuatan-perbuatannya. Sedikit saja di antara mereka yang mengetahui bahwa ajaran yang dibawa oleh Rasul saw itulah yang benar dan yang hak, bahwa patung-patung mereka dan segala sesembahan mereka yang lain tidak memberi manfaat atau mudarat. Adapun kalau mereka kemudian mengingkari ayat-ayat Allah dan mendustakan Rasul saw, maka hal itu adalah karena keras kepala dan kesombongan mereka, karena khawatir kepemimpinan mereka akan hilang sia-sia, sehingga mereka akan berubah menjadi pengikut bukan orang-orang yang diikuti.
Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka lakukan, baik perbuatan yang didasarkan kepada kepercayaan yang belum pasti kebenarannya. Dia-lah yang mengetahui perbuatan-perbuatan mereka, dan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan mereka.

B. SURAT Al-ISRA AYAT 36





Artinya:
”Dan janganlah engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu tentangnya ditanyai.” (Qs. Al-Isra’:36).
( ) al-Bashar: Penglihatan , ( ) al-Fuad: Hati.
Allah swt melarang kaum muslimin mengikuti perkataan atau perbuatan yang tidak diketahui kebenarannya. Larangan ini mencakup seluruh kegiatan menusia itu sendiri, baik perkataan maupun perbuatan.


Di bawah ini akan disebutkan berbagai pendapat dari sahabat dan tabi’in:
1. Ibnu Abbas mengatakan: ”Janganlah kamu menjadi saksi kecuali atas sesuatu yang diketahui oleh kedua matamu, didengar oleh kedua telingamu dan dapat dipahami oleh hatimu.”
2. Qatadah, mengatakan pula” ”Janganlah kamu mengatakan ’Saya mendengar,’ padahal kamu belum pernah mendengar, atau ’Saya telah melihat,’ padahal kamu tak pernah melihat, atau ’Saya telah mengetahui,’ padahal kamu belum tahu.”
3. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan larangan mengatakan sesuatu yang tidak diketahui ialah perkataan yang hanya berdasarkan prasangka dan dugaan, bukan pengetahuan yang benar, seperti tersebut dalam firman Allah:


Artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (Qs. Al-Hujurat: 12).
Dan seperti tersebut dalam hadits:



Artinya: ”Jauhilah olehmu sekalian prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta.” (Riwayat Muslim, Ahmad, dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
4. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud ialah larangan kepada kaum musyrikin mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka, dengan taqlid buta dan mengikuti keinginan hawa nafsu. Di antaranya adalah mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka menyembah berhala, dan memberi berhala itu dengan berbagai macam nama, seperti tersebut dalam firman Allah:


Artinya: ”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya.” (Qs. An-Najm: 23).
Allah lalu mengatakan bahwa sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan ditanya, apakah yang dikatakan oleh seseorang itu sesuai dengan apa yang didengar suara hatinya. Apabila yang dikatakan itu sesuai dengan pendengaran , penglihatan, dan suara hatinya, ia selamat dari ancaman api neraka, dan akan menerima pahala dan keridhaan Allah. Tetapi apabila tidak sesuai, ia akan digiring ke dalam api neraka.


BAB III
PESAN PENDIDIKAN

Bahwa dalam pendidikan, kita di haruskan untuk menggunakan akal dan pikiran kita dan juga meminta petunjuk hanya kepada Allah sehingga kita tidak akan masuk dalam kesesatan melainkan kebenaran. Jalan yang dipakai jangan hanya taqlid saja tanpa mengetahui apakah benar sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulnya atau tidak. Dalam belajar kita harus memiliki etika untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita ketahui kebenarannya, apa-apa yang tidak kita lihat, dengar, maupun yang tidak sesuai dengan suara hati kita. Dan kita dilarang berbuat atau mengatakan hanya berdasarkan prasangka atau dugaan, tanpa pengetahuan yang benar karena prasangka tidaklah dibenarkan sehingga dikhawatirkan akan menyesatkan orang lain. Semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt.

















Referensi:
- Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi (Terjemah) Juz XI. Semarang: Toha Putra.
- Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi (Terjemah) Juz XV. Semarang: Toha Putra.
- Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya: (Edisi yang Disempurnakan) Jilid IV. Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama.
- Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya: (Edisi yang Disempurnakan) Jilid V. Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama.
- Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 6. Jakarta: Lentera Hati.
- Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 7. Jakarta: Lentera Hati.
- Tim Tashih Departemen Agama. 1995. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid IV Juz 10-11-12. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

PENDIDIKAN DI THAILAND DAN FILIPINA

PENDIDIKAN DI THAILAND DAN FILIPINA
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Perbandingan Pendidikan Negara Islam
Dosen Pembimbing:
DR. Hasan Darojat, M.A.




Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376

PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2011
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka tercapainya tujuan pendidikan, maka perlu dikembangkan sistem pendidikan yang digunakan. Demi mendapatkan sistem pendidikan yang sempurna perlu diadakan perbandingan, karena masing-masing negara baik yang maju maupun berkembang memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda. Dimana pada setiap yang berbeda itu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Untuk itu, pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai pendidikan di dua negara Asia Tenggara, yaitu Thailand dan Filipina. Akan disebutkan secara singkat letak geografis masing-masing negara dan sejarahnya. Juga dijelaskan keadaan sistem pendidikan kedua negara tersebut. Pada bab III akan disimpulkan kelebihan dan kekurangan pada pendidikan di Thailand dan Filipina.






BAB II
PENDIDIKAN DI THAILAND DAN FILIPINA

A. Pendidikan di Thailand
1. Letak Geografis Thailand
Kerajaan Thai, yang lebih sering disebut Thailand dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa aslinya Mueang Thai (dibaca: "meng-thai", sama dengan versi Inggrisnya, berarti "Negeri Thai"), adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang beribukota di Bangkok. Bahasa resmi yang digunakan adalah bahasa Thai. Bentuk pemerintahannya adalah monarki konstitusional, yang dipimpin oleh raja dan dikepalai oleh perdana menteri.
Negeri seluas kurang lebih 510.000 km² ini kira-kira seukuran dengan Perancis. Di sebelah barat dan utara, Thailand berbatasan dengan Myanmar, di timur laut dengan Laos, di timur dengan Kamboja, sedangkan di selatan dengan Malaysia. Koordinat geografisnya adalah 5°-21° LU dan 97°-106° BT.


2. Sejarah Thailand
Asal mula Kerajaan Thai secara tradisional dikaitkan dengan sebuah kerajaan yang berumur pendek, Kerajaan Sukhothai yang didirikan pada tahun 1238. Kerajaan ini kemudian diteruskan Kerajaan Ayutthaya yang didirikan pada pertengahan abad ke-14 dan berukuran lebih besar dibandingkan Sukhothai. Kebudayaan Kerajaan Thai dipengaruhi dengan kuat oleh Tiongkok dan India. Hubungan dengan beberapa negara besar Eropa dimulai pada abad ke-16 namun meskipun mengalami tekanan yang kuat, Kerajaan Thai tetap bertahan sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh negara Eropa, meski pengaruh Barat, termasuk ancaman kekerasan, mengakibatkan berbagai perubahan pada abad ke-19 dan diberikannya banyak kelonggaran bagi pedagang-pedagang Britania.
Sebuah revolusi tak berdarah pada tahun 1932 menyebabkan dimulainya monarki konstitusional. Sebelumnya dikenal dengan nama Siam, negara ini mengganti nama internasionalnya menjadi "Thailand" pada tahun 1939 dan untuk seterusnya, setelah pernah sekali mengganti kembali ke nama lamanya pasca-Perang Dunia II. Pada perang tersebut, Kerajaan Thai bersekutu dengan Jepang; tetapi saat Perang Dunia II berakhir, Kerajaan Thai menjadi sekutu Amerika Serikat. Beberapa kudeta terjadi dalam tahun-tahun setelah berakhirnya perang, namun Kerajaan Thai mulai bergerak ke arah demokrasi sejak tahun 1980-an.
3. Sistem Pendidikan di Thailand
Sistem pendidikan di Thailand memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan di Indonesia dan terdapat juga perbedaannya. Sistem pendidikan di Thailand terbagi menjadi 3, yaitu: pendidikan formal, pendidikan non-formal dan pendidikan informal. Untuk sistem pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. sedangkan sistem pendidikan non-formal terdiri dari: program sertifikat kejuruan, program short course sekolah kejuruan dan interest group program.
Wajib belajar di Thailand adalah wajib belajar 9 tahun, dengan rincian grade sebagai berikut :
a. Pendidikan Play Group dan TK usia 3-6 tahun
b. Pendidikan Sekolah Dasar (selama 6 tahun), grade 1-6
c. Pendidikan Sekolah Menengah (selama 3 tahun), grade 7-9
d. Pendidikan Sekolah Menengah atas (selama 3 tahun), grade 10-12
Untuk grade 7-12 dalam satu komponen sekolahan, mereka tak harus mendaftar lagi , sudah otomatis melanjutkan di sekolah itu.
Ujian Nasional (UN) di Thailand dikoordinasikan oleh Bureu of Education Testing Office dari Komisi Pendidikan Dasar yang memakai Sistem Ordinary National Education Test (O-net). UN di wajibkan untuk grade 3, 6, 9 dan 12. Ada 8 mata pelajaran yang di-UN kan yaitu :
a. Bahasa Thai
b. Matematika
c. Science
d. Ilmu sosial
e. Agama dan Kebudayaan
f. Bahasa asing
g. Health and Physical Education
h. Art, Career and Technology
Sedangkan siswa dari grade 1,2,4,5,7,8,10 dan 11, mengikuti ujian kelas dari sekolah masing-masing yang mengacu dari Office of Academic Affair , Kementrian Pendidikan Thailand, secara serentak.
Pondok (sekolah agama) di Thailand Selatan secara keseluruhan dapat dikatakan sama dengan pesantren di Jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia pada tahun 1950/60-an sebelum mengalami modernisasi. Kini, setelah kerusuhan merebak di Patani atau kawasan Muslim Melayu di Thailand Selatan dalam dua tahun terakhir, pondok menjadi tertuduh sebagai tempat pusat perlawanan atas pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah Thailand. Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, secara terbuka menyatakan bahwa ia tak akan memberikan toleransi kepada pondok yang seperti itu.
Pondok Patani umumnya masih sangat tradisional, bagi kaum Melayu Muslim Thailand Selatan ia adalah lebih dari sekadar lembaga pendidikan Islam. Tetapi juga merupakan salah satu identitas keagamaan dan budaya. Jadi, ancaman penutupan pondok oleh pemerintah, langsung maupun tidak merupakan pembunuhan ‘genocide’ religius-kultural.
Dalam wawancara dengan TV3 Thailand di sela-sela workshop di Nakun Si Tamarat, dikemukakan bahwa penyebab pergolakan di Thailand Selatan sedikitnya ada empat :
Pertama, pendekatan kekerasan yang dilakukan Thaksin, yang akhirnya melahirkan lingkaran kekerasan. Dalam menghadapi unjuk rasa damai misalnya, Thaksin tidak segan-segan mengerahkan kekuatan militer yang mengorbankan orang Muslim Patani. Ini segera dibalas dengan taktik gerilya maka kekerasan berlanjut.
Kedua, kondisi ekonomi yang buruk di Thailand Selatan. Meski ekonomi Thailand meningkat tetapi tidak banyak perkembangan ekonomi di Thailand Selatan. Mereka tetap miskin dan terbelakang.
Ketiga, monolitisme budaya Thai (Siam) dengan mengorbankan budaya Melayu Muslim. Sejak tahun 1970-an Pemerintah Thailand melakukan “Siamisasi” dengan mewajibkan orang-orang Muslim Patani menggunakan nama dan bahasa Thai (yang sama sekali tak ada ikatan budaya/tidak serumpun).
Keempat, terbelakangnya pendidikan, karena kurangnya perhatian pemerintah Thailand.

B. Sistem Pendidikan di Filipina
1. Letak Geografis Filipina
Filipina adalah sebuah negara republik di Asia Tenggara, sebelah utara Indonesia dan Malaysia. Filipina beribukotakan Manila. Bahasa resmi yang digunakan ialah bahasa Filipino (Tagalog) dan bahasa Inggris. Bentuk pemerintahannya ialah republik, yang dipimpin oleh presiden dan wakil presiden.
Filipina terdiri dari 7.107 pulau dengan luas total daratan diperkirakan 300.000 km². Negara ini terletak antara 116° 40' dan 126° 34' T. longitude, dan 4° 40' dan 21° 10' LU. latitude. Di timur dia berbatasan dengan Laut Filipina, di barat dengan Laut China Selatan, dan di selatan dengan Laut Sulawesi. Pulau Borneo terletak beberapa ratus kilometer di barat daya dan Taiwan di utara. Maluku dan Sulawesi di selatan, dan di timur adalah Palau.
2. Sejarah Filipina
Peninggalan tertulis Filipina dimulai sekitar abad ke-8 berdasarkan temuan lempeng tembaga di dekat Manila. Dari tulisan pada lempeng itu diketahui bahwa Filipina berada dalam pengaruh Sriwijaya. Namun demikian, bukti tertulis ini sangat sedikit sehingga bahkan ahli-ahli sejarah Filipina masih beranggapan sejarah Filipina dimulai pada era kolonialisme.
Sebelum orang-orang Spanyol datang pada abad ke-16, di Filipina berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang bercorak animisme yang terpengaruh sedikit kultur India dan yang bercorak Islam di bagian selatan kepulauan. Kerajaan-kerajaan muslim ini mendapat pengaruh kuat dari Kerajaan Malaka.
Sepanjang masa 265 tahun, Filipina merupakan koloni Kerajaan Spanyol (1565-1821) dan selama 77 tahun berikutnya diangkat menjadi provinsi Spanyol (1821-1898). Negara ini mendapat nama Filipina setelah diperintah oleh penguasa Spanyol, Raja Felipe II. Setelah Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898, Filipina diperintah Amerika Serikat. Ia kemudian menjadi sebuah persemakmuran di bawah Amerika Serikat sejak tahun 1935. Periode Persemakmuran dipotong Perang Dunia II saat Filipina berada di bawah pendudukan Jepang. Filipina akhirnya memperoleh kemerdekaannya (de facto) pada 4 Juli 1946. Masa-masa penjajahan asing ini sangat memengaruhi kebudayaan dan masyarakat Filipina. Negara ini dikenal mempunyai Gereja Katolik Roma yang kuat dan merupakan salah satu dari dua negara yang didominasi umat Katolik di Asia selain Timor Leste.
Filipina seringkali dianggap sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara di mana pengaruh budaya Barat terasa sangat kuat. Filipina adalah negara paling maju di Asia setelah Perang Dunia II, namun sejak saat itu telah tertinggal di belakang negara-negara lain akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah, penyitaan kekayaan yang dilakukan pemerintah, korupsi yang luas, dan pengaruh-pengaruh neo-kolonial. Saat ini Filipina mengalami pertumbuhan ekonomi yang moderat, yang banyak disumbangkan dari pengiriman uang oleh pekerja-pekerja Filipina di luar negeri dan sektor teknologi informasi yang sedang tumbuh pesat.
Masalah-masalah besar negara ini termasuk gerakan separatis muslim di sebelah selatan Mindanao, pemberontak-pemberontak dari Tentara Rakyat Baru (New People's Army) yang beraliran komunis di wilayah-wilayah pedesaan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten, tingkat kejahatan yang makin meningkat, dan kerusakan lingkungan seperti penebangan hutan dan polusi laut. Filipina juga mengalami masalah banyaknya penduduk di daerah-daerah perkotaan akibat kurangnya lapangan pekerjaan di wilayah pedesaan dan tingkat kelahiran yang tinggi.
3. Sistem Pendidikan di Filipina


a. Pra-Pendidikan Dasar
Pra-pendidikan dasar disediakan untuk anak berusia 3-5 tahun. Program yang ditawarkan beragam seperti Nursery (Pendidikan Anak Usia Dini) untuk anak usia 3-4 tahun, kindergarten (TK) untuk usia 4-5 tahun, dan Sekolah Persiapan SD untuk usia 5-6 tahun.
b. Pendidikan Dasar
Sekolah Dasar, terdiri dari 6 tingkat, beberapa sekolah menambahkan tingkat tambahan (tingkat ke-7). Tingkat-tingkat ini dikelompokkan menjadi dua subdivisi utama, Tingkat Primer (dasar) meliputi 3 tingkat pertama, dan Tingkat Intermediet (lanjutan) terdiri dari 3 atau 4 tingkat. Penyelenggaraan enam tahun pendidikan dasar ini wajib dan disediakan gratis di sekolah-sekolah umum.
(1) Sekolah Publik
Mata Pelajaran Inti: Matematika, Ilmu Pengetahuan, Bahasa Inggris, Bahasa Filipina, Dan Makabayan (Ilmu Sosial, Pendidikan Kehidupan, Nilai-Nilai). Pada tingkat ke-3 ditambahkan mata pelajaran Sains. Mata Pelajaran Lainnya: Musik, Seni, dan Pendidikan Jasmani.
(2) Sekolah Swasta
Mata Pelajaran: Matematika, Bahasa Inggris, Sains, Ilmu Sosial, Komputer Dasar, Bahasa Filipina, Musik, Seni dan Teknologi, Ekonomi Kerumahan, Kesehatan, Pendidikan Jasmani. Di Sekolah Katolik diberikan materi Pendidikan Agama atau Kehidupan Umat Kristen. Pada Sekolah Internasional dan Sekolah Cina diberikan mata pelajaran tambahan berupa Bahasa dan Budaya.
Bahasa pengantarnya ialah Bahasa Inggris. Bahasa Filipina digunakan dalam pengajaran Makabayan dan Bahasa Filipina,
selain juga digunakan bahasa-bahasa daerah seperti Cebuano, Hiligaynin, Bicolano, dan Waray. Bahasa Arab digunakan di Sekolah-sekolah Islam. Di Sekolah Cina diajarkan dua tambahan bahasa Cina Hokkien dan Cina Mandarin. Sekolah Internasional umumnya menggunakan Bahasa Inggris di semua mata pelajaran.
National Elementary Achievement Test (NEAT), ujian nasional SD, yang orientasinya adalah sebagai tolak ukur sekolah kompetensi, bukan sebagai pengukur kecerdasan siswa, dihapuskan pada tahun 2004, dan pada tahun 2006 diberlakukan hanya kepada sekolah swasta untuk ujian masuk sekolah menengah. Dengan dihapuskannya NEAT para siswa tidak perlu menghasilkan skor apapun untuk mendapatkan pengakuan ke sekolah tinggi negeri. Departemen Pendidikan kemudian mengubah NEAT dan menggantikannya dengan National Achievement Test (NAT). Sekolah dasar publik dan swasta mengambil ujian ini untuk mengukur kompetensi sekolah.
c. Pendidikan Menengah
Pendidikan sekolah menengah di Filipina terdiri dari empat tahun dan disediakan secara gratis di sekolah-sekolah umum, ditujukan kepada siswa-siswa berusia 12-16. Pendidikan Menengah bersifat terkotak, yaitu setiap tingkat berfokus kepada tema atau isi tertentu, sehingga sering disebut sebagai sekolah tinggi. Pendidikan Menengah:
Tahun ke-1 (Freshman): Aljabar I, Sains Terintegrasi, bahasa Inggris I, bahasa Filipina I, dan Sejarah Filipina.
Tahun ke-2 (Sophomore): Aljabar II, Biologi, bahasa Inggris II, bahasa Filipina II, Sejarah Asia.
Tahun ke-3 (Junior): Geometri, Kimia, bahasa Filipina III, sejarah Dunia, dan Geografi.
Tahun ke-4 (Senior): Kalkulus, Trigonometri, Fisika, bahasa Filipina IV, Sastra, dan Ekonomi.
Pelajaran tambahan meliputi Kesehatan, Ilmu Komputer Lanjutan, Musik, Seni, Teknologi, Ekonomi Kerumahan, dan Pendidikan Jasmani. Pada Sekolah-Sekolah Eksklusif ditawarkan mata pelajaran pilihan meliputi berbagai macam Bahasa, Pemrograman Komputer, Menulis Sastra, dan lainnya. Sekolah Cina memberikan tambahan pelajaran Bahasa dan Budaya. Sekolah Persiapan (Pra-Pendidikan Tinggi) memberikan beberapa kursus Bisnis dan Akutansi, sedangkan Sekolah Sains memberikan mata pelajaran Biologi, Kimia, dan Fisika pada setiap tingkat.
National Achievement Test Sekunder (NSAT) yang dikelola oleh Departemen Pendidikan adalah ujian di akhir tahun ke-4 sekolah menengah, namun kemudian ditiadakan. Kini setiap sekolah publik atau swasta menyelenggarakan sendiri ujian masuk pendidikan di Perguruan Tinggi (College Entrance Examinations, CEE).
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, siswa dapat memilih untuk mengambil Pelatihan Kejuruan 2 atau 3 tahun atau melanjutkan ke Perguruan Tinggi (Universitas).
d. Pendidikan Teknik dan Kejuruan
Pendidikan Teknik dan Kejuruan (TESDA), adalah suatu badan yang mengawasi pendidikan pasca-sekolah menengah pendidikan teknis dan kejuruan, termasuk orientasi keterampilan, pelatihan dan pengembangan pemuda luar sekolah dan masyarakat pengangguran dewasa. TESDA dikelola oleh Dewan Tenaga Kerja dan Pemuda (NMYC) dan Program magang dari Biro Ketenagakerjaan Lokal (BLE), keduanya dari Departemen Pekerjaan dan Ketenagakerjaan (DOLE) bekerjasama dengan Biro Pendidikan Teknis dan Kejuruan (BTVE) dari Departemen Pendidikan, Kebudayaan, dan Olah Raga (DECS, sekarang DepEd), berlandaskan Undang-Undang Republik Nomor 7796 atau dikenal sebagai “Undang-Undang Pendidikan Teknik dan Pengembangan Keterampilan 1994” yang untuk menyediakan tenaga kerja tingkat menengah bagi industri.
e. Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi dikelola oleh Komisi Pendidikan Tinggi (CHED), berdasarkan UU Republik No. 7722 atau UU Pendidikan Tinggi 1994. CHED adalah lembaga independen setingkat departemen yang berasal dan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan (DepEd). Tugasnya adalah mengkoordinasikan program-program lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan menerapkan kebijakan dan standar.
Pendidikan Tinggi di Filipina diklasifikasikan menjadi universitas dan perguruan tinggi negeri (SUC) dan universitas dan perguruan tinggi lokal (LCU). SUCs (State Universities and Colleges) adalah lembaga-lembaga pendidikan tinggi publik yang disewa, ditetapkan oleh hukum, dikelola, dan disubsidi secara finansial oleh pemerintah. LUCs (Local Universities and Colleges) merupakan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang didirikan dan didukung secara finansial oleh pemerintah daerah.
HEIs (High Education Institutions) adalah lembaga-lembaga Pendidikan tinggi yang berada langsung di bawah lembaga pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang. Mereka menyediakan pelatihan khusus di bidang-bidang seperti ilmu militer dan pertahanan nasional. Sedangkan CSI (CHED Supervised Institution) adalah lembaga pasca pendidkan menengah public yang tidak disewa oleh pemerintah, ditetapkan oleh hukum,dikelola, diawasi, dan didukung secara finansial oleh pemerintah. Adapun OGS (Other Government Schools) adalah lembaga pendidikan menegah dan pasca pendidikan menengah, biasanya merupakan lembaga pendidikan teknis-kejuruan yang menawarkan program pendidikan tinggi.
Amerika sebagai mantan penjajah, memiliki pengaruh besar bagi perkembangan bangsa Filipina. Amerika melakukan berbagai perubahan signifikan bagi Filipina. Sistem pendidikan dan demokrasi dibangun, bahasa Inggris menjadi bahasa nasional, sistem administrasi publik dibuat serta berbagai transformasi “American way“ lainnya dikembangkan ke masyarakat Filipina. Namun, menurut Constantino (1974), sistem pendidikan yang diajarkan oleh Amerika adalah “mis-education” bagi bangsa Filipina. Pendidikan Amerika membuat de-Filipinanisasi bagi generasi mudanya. Mereka menempatkan kultur, nilai, gaya hidup Amerika sebagai ukuran superior yang harus dirujuk. Cerita tentang kejayaan kepahlawan Amerika serta keunggulan institusi Amerika mengobsesi generasi muda, menempatkan model “American society“ sebagai bentuk ideal bagi kehidupan masyarakat Filipina. Hasil akhirnya, Filipina menjadi pasar yang bersahabat bagi membajirnya produk-produk “made in America”.
Dampak dari mis-education inilah yang mungkin menjadi problem besar bagi Filipina dewasa ini. Kemajuan Filipina menjadi bangsa yang kuat tersendat sekalipun berbagai berbagai potensi sudah dimilikinya.
Isu War Against Terrorisme membahana pasca peristiwa 11 September 2001 dan disusul dengan aksi teror di wilayah-wilayah pemerintahan dan lembaga-lembaga asing milik Barat, hal ini memunculkan pula nama Osama bin Laden sebagai pendiri Al-Qaeda yang diduga merupakan jaringan teroris internasional. Selain di AS terorisme pun banyak terjadi di Asia Tenggara, seperti tragedy Bom Bali I yang terjadi tak lama dari peristiwa 911 di Washington DC, pemboman hari Rizal di Filipina 30 Desember 2000, juga pemboman-pemboman beruntun di Indonesia. Rangkaian peristiwa teror di Asia Tenggara diduga adanya keberadaan jaringan terorisme di wilayah ini, mengingat peristiwa tersebut terjadi di saat momen-momen yang penting dan wilayah-wilayah strategis. Namun dalam perjalanannya Indonesia, Malaysia dan Singapura telah menunjukkan keseriusannya dalam membasmi jaringan tersebut di Asia Tenggara. Namun, Filipina yang juga merupakan negara tujuan terorisme cenderung tidak serius menangani hal tersebut. Sementara Filipina dianggap sebagai wilayah yang paling strategis sebagai persemayaman teroris.
Filipina telah mengalami konflik berkepanjangan antara pemerintahan Filipina dengan para separatisan di Moro. MNLF (Moro National Liberalization Front) yang merupakan organisasi separatisan mempersiapkan kelompok tersebut agar lebih kuat. Salamat Hashim yang baru saja pulang dari pendidikannya di Al Azhar menjadikan kelompok ini bercabang, dengan membentuk MILF (Moro Islamic Liberalization Front) yang perjuangannya lebih spesifik memperjuangkan Islam Moro agar memperoleh legitimasi secara independen tanpa adanya intervensi dari pemerintah Filipina.
Keberadaan MILF yang Islam sentris mempermudah jaringan teroris Internasional semacam Al-Qaeda dan JI (Jamaah Islamiyah) masuk kedalamnya dan menyebarkan ideologi jihad. Salamat Hashim merekrut pemuda-pemuda dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga dari Filipina itu sendiri. Faktor yang menyebabkan Filipina menjadi tempat jaringan teroris ini mudah karena, pertama, sejak 1990-an merupakan tempat para pemuda didikan JI sebagai pelatihan dan pembentukan militer yang bertujuan membentuk sebuah Negara Islam Indonesia. Kedua, Pemerintahan Filipina kurang efektif dalam usahanya untuk membekuk pergerakan teroris di negaranya, pemantauan arus pendatang dan penduduk serta penyelundupan senjata dan dana yang masuk melalui Filipina Selatan yang juga dapat diakses dari Malaysia. Dan yang terkahir keberadaan separatisan di Moro menjadikan Filipina sasaran empuk, karena separatisan ini membutuhkan dukungan dana dan sumber daya manusia dari para donatur.
Sedangkan proses negosiasi antara pemerintah dengan MILF selalu tidak tercapai dengan baik, selalu saja ada salah satu pihak yang mengingkari isi perjanjian dengan menyerang kamp-kamp milik MILF ataupun sebaliknya dengan menyerang kantor-kantor pemrintahan. Konflik berkepanjangan ini justru menyebabkan akar terorisme di Moro yang semakin kuat, serta beberapa lulusan pendidikan militer zaman invansi Soviet ke Afghanistan menyebabkan solidaritas muslim negara-negara lainnya dengan mengirimkan pemuda-pemuda muslim dalam memberikan pendidikan militer di kamp-kamp Afghanistan. Setelah konflik selesai, para lulusan ini kemudian dimanfaatkan sebagai pendidik bagi pemuda-pemuda yang baru bergabung. Pendidikan yang diberikan berupa pendidikan militer dengan memberikan pengetahuan senjata dan perakitan bom.
Analisanya, bahwa Islam yang menganut sistem khilafah menjadikan seorang tokoh besar dijadikan panutan bagi mereka. Bagaimana seorang Salamat Hashim yang memiliki nama besar dapat menjadi magnet untuk menarik minat pemuda untuk masuk kedalam kelompok tersebut. Penyebaran ideologi pun sangat mudah dilakukan, dengan melakukan ceramah-ceramah di masjid pun dapat mempermudah penyampaian ideologi bagi para militan agar berpegang teguh pada apa yang dilakukannya, yaitu berjuang di jalan Allah dan melakukan jihad demi mati di jalan Allah SWT.
Selain itu negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Filipina merupakan negara-negara yang tingkat perekonomiannya rendah, dan tingkat pendidikan yang miris. Sehingga ini menjadi nilai plus bagi para pendiri MILF dan JI untuk memanfaatkan mereka demi menjalankan misi politiknya.






BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai pendidikan di Thailand dan Filipina pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Pendidikan di Thailand
1. Kelebihan pendidikan di Thailand:
(a) Adanya sistem pendidikan formal, non-formal, dan informal.
(b) Wajib belajar 9 tahun.
(c) Adanya UN dan ada 8 mata pelajaran yang diujikan dalam UN.
2. Kekurangan pendidikan di Thailand:
(a) Pondok pesantren dipandang sebelah mata oleh pemerintah Thailand.
(b) Ekonomi yang buruk dan terbelakangnya pendidikan di Thailand Selatan, karena kurangnya perhatian dari pemerintah Thailand.
b. Pendidikan di Filipina
1. Kelebihan pendidikan di Filipina:
(a) Pada sekolah dasar, diwajibkan dan disediakan gratis di sekolah-sekolah umum. Juga pada pendidikan menengah, disediakan gratis.
(b) Bahasa pengantarnya ialah bahasa Inggris.
(c) Pada sekolah menengah, kurikulumnya bersifat terkotak (setiap tingkat terfokus pada tema atau isi tertentu).
(d) Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, siswa dapat memilih untuk mengambil Pelatihan Kejuruan 2 atau 3 tahun atau melanjutkan ke Perguruan Tinggi (Universitas).
2. Kekurangan pendidikan di Filipina:
(a) Sistem pendidikan yang kebarat-baratan. Bukan sistem pendidikan yang sesuai dengan jati dirinya sendiri.
(b) Perekonomian yang rendah dan pendidikan yang miris menyebabkan mereka mudah dimanfaatkan dalam misi terorisme.











DAFTAR PUSTAKA

http://berhitung.wordpress.com/2010/06/02/mengenal-sistem-pendidikan-di-thailand/,
http://ferizalramli.wordpress.com/2009/01/02/filipina-warisan-dari-tradisi-yang-salah/
http://hankam.kompasiana.com/2011/01/12/fights-against-terorisme/
http://id.wikipedia.org/wiki/Filipina
http://id.wikipedia.org/wiki/Thailand
http://www.kosmaext2010.com/pendidikan-islam-di-thailand-selatan-materi-siat.php,
http://www.scribd.com/doc/24330187/Sistem-Pendidikan-Di-Negara-negara-Asean
http://www.wisatathailand.com/tentangthailand.htm