Jumat, 16 September 2011

PEMAHAMAN TAKSONOMI BLOOM DAN PENERAPAN DALAM PAI

PEMAHAMAN TAKSONOMI BLOOM DAN PENERAPAN DALAM PAI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah MPAI










Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376






Dosen Pembimbing:
Hj. Dzaatil Husni Binti Ali, M. A.




PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka evaluasi hasil belajar yang harus selalu diperhatikan ialah prinsip dimana evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif) dan pengalamannya (aspek psikomotor). Ketiga ranah tersebut sangat erat hubungannya dengan kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar, untuk itu di dalam makalah ini akan dibahas secara lebih luas.



















BAB II
PEMAHAMAN TAKSONOMI BLOOM DAN PENERAPAN DALAM PAI

Dalam sejarah pengukuran dan penilaian pendidikan tercatat, bahwa pada kurun waktu tahun empat puluhan, beberapa orang pakar pendidikan di Amerika Serikat yaitu Benjamin S. Bloom, M. D. Englehart, E. Furst, W. H. Hill, Daniel R. Krathwohl dan didukung pula oleh Ralph E. Tylor, mengembangkan suatu metode pengklasifikasian tujuan pendidikan yang disebut taxonomy. Ide untuk membuat taksonomi itu muncul setelah lebih kurang lima tahun mereka berkumpul dan mendiskusikan pengelompokan tujuan pendidikan, yang pada akhirnya melahirkan sebuah karya Bloom dan kawan-kawannya itu, dengan judul: Taxonomy of Educational Objectives (1956).
Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu pada tiga jenis domain (= daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: Ranah proses berpikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar, yaitu: Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan kepada mereka?, apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?, dan apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?.

A. Ranah Kognitif (Cognitive Domain)
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi, ialah:
1. Pengetahuan (knowledge) adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah peserta didik dapat menghafal surat al-Ashr, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru pendidikan agama Islam di sekolah.
2. Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Contohnya, peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-Ashr secara lancar dan jelas.
3. Penerapan atau aplikasi (application) adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkret. Contohnya, peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
4. Analisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau factor-faktor yang satu dengan factor-faktor lainnya. Contohnya: peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa di rumah, di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari ajaran Islam.
5. Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Contohnya, peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagaimana telah diajarkan oleh Islam. Dalam karangannya itu peserta didik juga dapat mengemukakan secara jelas, amanat Bapak Presiden Soeharto dalam Upacara Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1995 yang telah mencanangkan kedisiplinan nasional, baik kedisiplinan kerja, kedisiplinan dalam hal kebersihan dan menjaga kelestarian alam, maupun kedisiplinan dalam mentaati peraturan lalu lintas, yang pada hakikatnya adalah merupakan perintah Allah SWT sebagaiman tersebut dalam suarh al-Ashr.
6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation) adalah kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide, misalnya jika seseorang dihadapakan pada beberapa pilihan yang terbaik, sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada. Contohnya adalah peserta didik mampu menimbang-nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang berlaku disiplin dan dapat menunjukkan mudharat atau akibat-akibat negatif yana akan menimpa seseorang yang bersifat malas atau tidak berdisiplin, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan penilaian, bahwa kedisiplinan merupakan perintah Allah SWT yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.


B. Ranah Afektif (Affective Domain)
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran agama di sekolah, dsb. Dalam ranah afektif terdapat lima jenjang:
1. Receiving atau attending (= menerima atau memperhatikan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Contoh hasil belajar afektif jenjang receiving, peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan sifat malas dan tidak berdisiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
2. Responding (= menanggapi) mengandung arti ”adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Contohnya, peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan.
3. Valuing (menilai = menghargai) menilai dan menghargai artinya memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian dan penyesalan. Contohnya, tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri peserta diri untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
4. Organization (= mengatur atau mengoraganisasikan) artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai yang lainnya. Contohnya, peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Soeharto pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 1995.
5. Characterization by a Value or Value Complex (= karakeristisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Contohnya, siswa telah memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah yang tertera dalam al-Qur’an surat al-Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

C. Ranah Psikomotor ( Psychomotor Domain)
Perkataan psikomotor berhubungan dengan kata ”motor”,” sensory-motor atau perceptual-motor.” Jadi ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot sehingga menyebabkan gerak tubuh atau bagian-bagiannya. Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Terdapat 5 tingkatan, yaitu:
1. Persepsi. Langkah pertama dalam melakukan kegiatan yang bersifat motoris ialah menyadari obyek, sifat, atau hubungan-ghubungan melalui alat indera.
2. Set. Set adalah kesiapan untk melakukan suatu tindakan atau untuk bereaksi terhadap sesuatu kejadian menurut cara tertentu. Ada tiga aspek set, yaitu aspek intelektuakl, aspek fisis, dan aspek emosional.
3. Respon terbimbing. Inilah tingkat pemulaan dalam mengembangkan ketermpilan motoris. Yang ditekankan ialah kemampuan-kemampuan yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih kompleks. Respon terbimbing aalah perbuatan individu yang dapat diamati, yang terjadi dengan bimbingan individu lain.
4. Respon mekanistis. Pada taraf ini siswa sudah yakin akan kemampuannya dan sedikit banyak sudah terampil melakukan suatu perbuatan. Sudah terbentuk kebiasaan dalam dirinya untuk ber-respon sesuai dengan jenis-jenis perangsang dan situasi yang dihadapi.
5. Respon kompleks. Pada taraf ini individu dapat melakukan perbuatan motoris yang boleh dianggap kompleks, karena pola gerakn yang dituntut sudah kompleks. Perbuatan itu dapat dilakukan secara efisien dan lancar, yaitu dengan menggunakan tenaga dan waktu yang sesedikit mungkin.

Jika hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif dengan materi tentang kedisiplinan menurut ajaran Islam sebagaimana telah dikemukakan, maka wujud nyata dari hasil belajar psikomotor yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif iatu adalah: Peserta didik bertanya kepada guru pendidikan agama Islam tentang contoh-contoh kedisiplinan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw, para sahabat, para ulama dan lain-lain; peserta didik mencari dan membaca buku-buku, majalah-majalah atau brosur-brosur, surat kabar dan lain-lain yang membahas tentang kedisiplinan.

Referensi:
- Arikunto, Suharsimi. 1996. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
- Popham, W. James dan Eva L. Baker. 1981. Bagaimana Mengajar Secara Sistematis. Yogyakarta: Kanisius.
- Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

1 komentar: