SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376
Dosen Pembimbing:
Jamaluddin Sholihin, M. A.
PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar maka untuk menunjangnya perlu dipahami pula alat untuk mempelajari Al-Qur’an. Salah satunya ialah tafsir. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah perkembangan tafsir sejak periode Nabi, periode sahabat, hingga periode tabi’in. juga syarat dan adab bagi mufassir.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
A. Perkembangan Tafsir Pada Periode Nabi
Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi saw sendiri dan beliaulah penafsir awal (al-Mufassirul Awwal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.
Rasul saw setiap menerima ayat Al-Qur’an langsung menyampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan mana yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah itu adakalanya dengan Sunnah Qauliyah, adakalanya dengan Sunnah Fi’liyah dan adakalanya dengan Sunnah Taqririyah. Dalam pada itu tafsir yang diterima dari Nabi sendiri sedikit sekali. Kata ‘Aisyah r.a. : “Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja, menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan Jibril”.
B. Perkembangan Tafsir Pada Periode Sahabat
Sesudah Rasulullah wafat barulah para sahabat merasa perlu bangun menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud Al-Qur’an.
Kata Abdur Rahman As-Salamy: “Orang-orang yang mengajarkan kami Al-Qur’an, seperti Usman ibn ‘Affan, Abdullah ibn Mas’ud dan lain-lain menerangkan kepada kami bahwasanya apabila mereka mempelajari dari Nabi sepuluh ayat Al-Qur’an, mereka tidak mempelajari ayat-ayat yang lain dahulu sebelum mereka mempelajari ayat-ayat yang sepuluh itu. Mereka berkata: ‘Kami nukilkan dari Rasulullah Qur’an, ilmu dan amal’.” Memang apabila mereka tiada mengetahui makna sesuatu lafadz Al-Qur’an, atau sesuatu maksud ayat, segeralah mereka bertanya kepada Rasul sendiri, atau kepada sesama sahabat yang dipandang dapat menjelaskan.
Tiadalah semua sahabat sederajat dalam memahami Al-Qur’an karena menurut kenyataan, tidaklah semua anggota suatu masyarakat mengetahui dengan sempurna seluruh kata-kata dari bahasa yang dipergunakan masyarakat itu. Ada di antara mereka yang luas ilmunya tentang kesusasteraan jahiliyah, ada yang tidak. Ada yang terus-menerus menyertai Rasul, dapat mempersaksikan sebab nuzul, ada yang tidak. Ada di antara mereka yang mengetahui dengan sempurna adat istiadat bangsa Arab dalam pemakaian bahasa, ada yang tidak dan sebagainya. Para sahabat pada umumnya tidak menulis tafsir (hadits-hadits tafsir). Mereka tidak suka menulisnya adalah karena takut tercampur baur dengan Al-Qur’an.
Para ulama ahli tafsir di zaman para sahabat di antaranya ialah: Abdullah ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Abu Bakar ash-Shiddieq, Umar ibn Khattab, Umar ibn al-Khattab, Utsman ibn ‘Affan, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Zubair.
Para sahabat mempunyai dua aliran dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. At-Tafsir bi al-Ma’tsur (At-Tafsir bi al-Manqul), yang menafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat (hadits Rasul) atau atsar (pendapat-pendapat para sahabat).
2. At-Tafsir bi ar-Ra’yi wal ijtihad (At-Tafsir bi al-Ma’qul), yang di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat mempergunakan ijtihad dan akal, berpegang kepada kaedah-kaedah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasa.
C. Perkembangan Tafsir Pada Periode Tabi’in
Para sahabat Nabi yang ahli tafsir Al-Qur’an, banyaklah di antara mereka yang kemudian mengajarkan tafsir Al-Qur’an kepada para muridnya yang sungguh belajar kepada mereka yaitu para tabi’in. Di antara mereka para tabi’in yang ahli tafsir ialah: Sa’id ibn Zubair, Ikrimah, Mujahid, ‘Athaa ibn Abi Rabah, Muhammad ibn Ka’ab, Abil ‘Aliyah, Hasan Bashri, Athaa ibn Abi Salamah, Qatadah, ar-Rai’in Anas, Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam, ad-Dhahhak ibn Muzaahim, ‘Athiyah al-‘Ufi, Murrah al-Hamdani, dan Abu Malik.
Para ulama tabi’in mempunyai dua manhaj (aliran) dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Manhaj Muhadditsin, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan manqul.
2. Manhaj Aqiliyyin (Ijtihadiyyin), yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ma’qul.
Pada periode ini terdapat tafsir-tafsir yang disusun oleh firqah-firqah Islam yang masuk dalam kategori yang dicela lantaran pengarang-pengarangnya menulis tafsir-tafsir itu untuk mengokohkan pendirian mereka atau untuk membela mazhab mereka. Di antaranya ialah tafsir-tafsir Mu’tazilah, Mutawassifah dan Bathiniyah.
Tafsir-tafsir Mu’tazilah sangat dipengaruhi oleh akal dan oleh ilmu mantiq berdasar pada kaidah mereka: “Yang baik, ialah dipandang baik oleh akal dan yang buruk, ialah yang dipandang buruk oleh akal”. Nash-nash yang diperoleh Nabi dijadikan pegangan yang kedua, sedikit sekali mereka mempergunakan nash-nash itu untuk menerangkan makna-makna ayat. Tafsir-tafsir golongan Mutasawwifah dipengaruhi oleh syathahat-syatahat sufiyah yang menjauhkan mereka dari susunan Al-Qur’an dan menjadikan perkataan mereka, sulit dan sukar dipahami, yang hanya dapat dipakai oleh orang-orang yang telah mempelajari uslub-uslub Mutasawwifah. Tafsir Bathiniyah hanya mengambil batin Al-Qur’an dan mengabaikan lahirnya. Di dalamnya kita temui takwil-takwil yang salah yang berlawanan dengan dasar-dasar syara’ dan kaidah bahasa.
D. Syarat dan Adab Bagi Mufassir
Keterangan dan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang harus diketahui dan diinsafi lebih dahulu oleh para mufassir Al-Qur’an ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu menjadi pedoman agama yang memimpin umat manusia kepada segala sesuatu yang mendatangkan atau mebawa kebahagiaan mereka di alam dunia dan kesejahteraan mereka kelak di akhirat. Jadi para penafsir Al-Qur’an itu hendaklah lebih dahulu mengerti akan tujuan itu.
Selanjutnya, para penafsir Al-Qur’an iu sebelum berusaha hendak menafsirkan Al-Qur’an, terlebih dahulu haruslah mengerti beberapa macam ilmu pengetahuan sebagai alatnya. Antara lain ialah:
1. Penguasaan ilmu bahasa Arab;
a. Kosakata Al-Qur’an, penting karena sering dijumpai di dalam kitab suci itu kata-kata yang mengandung pengertian lebih dari satu.
b. Ilmu Nahwu (sintaksis), membahas hal-hal yang berhubungan dengan susunan kata, struktur kalimat, perubahan jabatan kata dan sebagainya.
c. Ilmu Sharf (morfologi), membahas bentuk suatu kata dan pengembangannya seperti ibdal, idgham, dan sebagainya.
d. Ilmu Etimologi; ilmu tentang asal usul kata.
e. Ilmu Balaghat (retorika/metafora); ada tiga aspek di dalam ilmu ini. Pertama, ilmu ma’ani (semantik), membahas makna atau konotasi suatu kata atau kalimat. Kedua, ilmu bayan, membahas pola penyusunan kalimat yang bervariasi dalam menyampaikan suatu maksud. Ketiga, ilmu badi’, membahas pola penyusunan ungkapan atau kalimat yang indah.
2. Ilmu Qira’at; membahas cara-cara membaca Al-Qur’an.
3. Ilmu Ushuluddin; membahas kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sifat Allah dan yan berhubungan dengan masalah Arkanul Iman.
4. Ilmu Ushul Fiqh; seorang mufassir harus dapat, sanggup dan mampu mengetahui tentang segi-segi istidlal (pembuktian) tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.
5. Ilmu Asbabun Nuzul; pengetahuan tentang sebab-sebab atau latar belakang turunnya ayat.
6. Ilmu Nasikh dan Mansukh; pengetahuan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang dinasikhkan dan dimansukhkan.
7. Ilmu Hadits; untuk memyempurnakan dan memberi penjelasan secara rinsi berdasarkan penjelasan dan penafsiran sunnah Nabi.
8. Ilmu Mauhabah; ilmu tentang segi-segi I’jaznya Al-Qur’an di kalangan ahli Tahqiq yang dimaksud ialah ilmu ladunny yaitu ilmu yang langsung diberikan oleh Allah pada orang yang mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Persyaratan seseorang penafsir Al-Qur’an dengan mengetahui ilmu Mauhabah adalah pendapat as-Sayuti.
9. Ilmu sains dan teknologi; karena di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan isyarat tentang sains dan teknologi.
Seorang mufassir itu harus lurus (jujur) dalam ia menfsirkan Al-Qur’an dan mendapat hidayah dari Allah swt. Imam Abu Wa’il ath-Thabary menguraikan tentang adab (akhlak) bagi mufassirin:
1. Hendaklah mufassir itu mempunyai akidah yang sah (murni);
2. Hendaklah mufassir iru kuat serta teguh pendiriannya pada sunnah Nabi saw dan ajaran agama Islam.
Dan dalam menafsirkan Al-Qur’an itu janganlah ada di belakangnya maksud tertentu untuk menafsirkannya, seperti dorongan hawa nafsu atau dengan dorongan keduniaan. Imam ath-Thabary menyatakan: “Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menafsirkan Al-Qur’an yaitu niatnya yang sah yang tergambar dalam perkataannya, tulisannya hendaklah tepat dan benar tidak berbelit-belitdalam menafsirkan Al-Qur’an.
Referensi:
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
- Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
- Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Kholil, Moenawar. 1985. Al-Qur’an dari Masa ke Masa. Solo: Ramadhani.
- Syurbasyi, Ahmad. 1999. Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Jakarta: Kalam Mulia.
Jumat, 16 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar