Jumat, 16 September 2011

PENDIDIKAN INTELEKTUAL (Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36)

PENDIDIKAN INTELEKTUAL
(Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawy






Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376


Dosen Pembimbing:
Taufik, M. Si.


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010

BAB I
PENDAHULUAN


Dalam menuntut ilmu, kita harus selalu belajar diiringi dengan nilai- nilai agama, yang mana bersumber utama dari Al-Quran dan As-sunnah. Untuk itu dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, kita perlu menelaah apa saja yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dalam makalah ini akan dikaji ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan intelektual (Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36).




















BAB II
PENDIDIKAN INTELEKTUAL
(Qs. Yunus: 35-36 dan Qs. Al-Isra’: 36)


A. SURAT YUNUS AYAT 35-36









Artinya:
” Katakanlah: ’Apakah diantara sekutu-sekutu kamu ada yang membimbing kepada kebenaran?’, Katakanlah: ’Allah membimbing menuju kebenaran.’ Maka apakah yang membimbing kepada kebenaran lebih berhak diikuti ataukah yang tidak dapat membimbing kecuali dibimbing? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”. ”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali dugaan saja. Sesungguhnya dugaan tidak sedikit pun berguna menyangkut kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Yunus: 35-36).

( )Yahdi lil Haqq: Membimbing menuju kebenaran, ( ) yahdi ila al-Haqq: Allah membimbing menuju kebenaran , ( ) Zhann: dugaan.
Allah memerintahkan kepada Nabi Saw, agar menanyakan kepada mereka (orang musyrikin), ”Manakah yang lebih berhak untuk diikuti apakah Zat Yang memberikan petunjuk kepada kebenaran ataukah berhala-berhala yang tidak dapat memberikan petunjuk sedikit pun kepada mreka bahkan tidak dapat mengetahui dirinya sendiri.” Mengapa mereka menerima pilihan serupa itu. Kalaulah mereka mau menggunakan akal dan pikiran tentulah mereka akan memilih Zat Yang memberi petunjuk kepada mereka, yaitu Allah. Karena tuhan-tuhan yang lain tidak dapat memberikan petunjuk apapun.
Petunjuk atau hidayah yang diberikan Allah kpd makhluk-Nya bermacam-macam:
1. Hidayah yang diperoleh dengan naluri dan insting yang telah diciptakan oleh Allah pada diri manusia dan hewan.
2. Hidayah yang dapat dicapai dengan panca indera, seperti hidayah yang melalui pendengaran dan penglihatan.
3. Hidayah yang dicapai denagn jalan berpikir dan mengambil petunjuk dari segala macam alat tersebut di atas.
4. Hidayah yang diberikan Allah dengan melalui agama yang diperuntukkan bagi manusia secara keseluruhan yang kedudukannya sama dengan akal untuk masing-masing individu.
5. Hidayah taufik yang dapat dicapai dengan kemauan untuk mencapai kebenaran.
Allah mencela perbuatan mereka dengan menanyakan apakah gerangan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadikan berhala-berhala itu sebagai perantara yang dapat menyampaikan ibadah mereka kepada Allah, padahal berhala-berhala itu bukanlah tuhan yang menciptakan, dan bukan yang memberi rezeki serta bukan pula tuhan yang memberi petunjuk. Maka mengapa mereka mengambil keputusan yang tidak adil yaitu menganggap tuhan-tuhan yang mereka persekutukan itu, sebagai Tuhan Yang berhak disembah, berhak dimintai pertolongan tanpa izin dari Zat Yang menciptakan. Dari sisi ini tampaklah kesesatan orang-orang musyrikin itu kesalahan tindakan mereka.
Sesungguhnya, kebanyakan mereka, dalam kemusyrikan dan peribadatannya kepada selain Allah atau dalam keingkarannya terhadap adanya kebangkitan dan pendustaannya terhadap Rasul saw, hanyalah mengikuti semacam dugaan, yang boleh jadi merupakan dugaan yang lemah belaka. Seperti halnya mereka menyamakan sesuatu yang tidak diketahui dengan barang gaib dengan barang nyata, dan menyamakan sesuatu yang tidak diketahui dengan barang yang diketahui. Mereka hanya taqlid saja kepada nenek moyang mereka, karena mereka yakin nenek moyang itu tak salah kepercayaannya, dan tidak pula sesat dalam perbuatan-perbuatannya. Sedikit saja di antara mereka yang mengetahui bahwa ajaran yang dibawa oleh Rasul saw itulah yang benar dan yang hak, bahwa patung-patung mereka dan segala sesembahan mereka yang lain tidak memberi manfaat atau mudarat. Adapun kalau mereka kemudian mengingkari ayat-ayat Allah dan mendustakan Rasul saw, maka hal itu adalah karena keras kepala dan kesombongan mereka, karena khawatir kepemimpinan mereka akan hilang sia-sia, sehingga mereka akan berubah menjadi pengikut bukan orang-orang yang diikuti.
Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka lakukan, baik perbuatan yang didasarkan kepada kepercayaan yang belum pasti kebenarannya. Dia-lah yang mengetahui perbuatan-perbuatan mereka, dan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan mereka.

B. SURAT Al-ISRA AYAT 36





Artinya:
”Dan janganlah engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu tentangnya ditanyai.” (Qs. Al-Isra’:36).
( ) al-Bashar: Penglihatan , ( ) al-Fuad: Hati.
Allah swt melarang kaum muslimin mengikuti perkataan atau perbuatan yang tidak diketahui kebenarannya. Larangan ini mencakup seluruh kegiatan menusia itu sendiri, baik perkataan maupun perbuatan.


Di bawah ini akan disebutkan berbagai pendapat dari sahabat dan tabi’in:
1. Ibnu Abbas mengatakan: ”Janganlah kamu menjadi saksi kecuali atas sesuatu yang diketahui oleh kedua matamu, didengar oleh kedua telingamu dan dapat dipahami oleh hatimu.”
2. Qatadah, mengatakan pula” ”Janganlah kamu mengatakan ’Saya mendengar,’ padahal kamu belum pernah mendengar, atau ’Saya telah melihat,’ padahal kamu tak pernah melihat, atau ’Saya telah mengetahui,’ padahal kamu belum tahu.”
3. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan larangan mengatakan sesuatu yang tidak diketahui ialah perkataan yang hanya berdasarkan prasangka dan dugaan, bukan pengetahuan yang benar, seperti tersebut dalam firman Allah:


Artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (Qs. Al-Hujurat: 12).
Dan seperti tersebut dalam hadits:



Artinya: ”Jauhilah olehmu sekalian prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta.” (Riwayat Muslim, Ahmad, dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
4. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud ialah larangan kepada kaum musyrikin mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka, dengan taqlid buta dan mengikuti keinginan hawa nafsu. Di antaranya adalah mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka menyembah berhala, dan memberi berhala itu dengan berbagai macam nama, seperti tersebut dalam firman Allah:


Artinya: ”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya.” (Qs. An-Najm: 23).
Allah lalu mengatakan bahwa sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan ditanya, apakah yang dikatakan oleh seseorang itu sesuai dengan apa yang didengar suara hatinya. Apabila yang dikatakan itu sesuai dengan pendengaran , penglihatan, dan suara hatinya, ia selamat dari ancaman api neraka, dan akan menerima pahala dan keridhaan Allah. Tetapi apabila tidak sesuai, ia akan digiring ke dalam api neraka.


BAB III
PESAN PENDIDIKAN

Bahwa dalam pendidikan, kita di haruskan untuk menggunakan akal dan pikiran kita dan juga meminta petunjuk hanya kepada Allah sehingga kita tidak akan masuk dalam kesesatan melainkan kebenaran. Jalan yang dipakai jangan hanya taqlid saja tanpa mengetahui apakah benar sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulnya atau tidak. Dalam belajar kita harus memiliki etika untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita ketahui kebenarannya, apa-apa yang tidak kita lihat, dengar, maupun yang tidak sesuai dengan suara hati kita. Dan kita dilarang berbuat atau mengatakan hanya berdasarkan prasangka atau dugaan, tanpa pengetahuan yang benar karena prasangka tidaklah dibenarkan sehingga dikhawatirkan akan menyesatkan orang lain. Semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt.

















Referensi:
- Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi (Terjemah) Juz XI. Semarang: Toha Putra.
- Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi (Terjemah) Juz XV. Semarang: Toha Putra.
- Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya: (Edisi yang Disempurnakan) Jilid IV. Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama.
- Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya: (Edisi yang Disempurnakan) Jilid V. Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama.
- Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 6. Jakarta: Lentera Hati.
- Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 7. Jakarta: Lentera Hati.
- Tim Tashih Departemen Agama. 1995. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid IV Juz 10-11-12. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

2 komentar:

  1. Kak fatimah. Boleh minta referensinya?? Untuk belajar :)
    Terimakasih

    BalasHapus
  2. Kak fatimah. Boleh minta referensinya?? Untuk belajar :)
    Terimakasih

    BalasHapus