Jumat, 16 September 2011

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ALIRAN ILUMINASIONIS (SUHRAWARDI)

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ALIRAN ILUMINASIONIS (SUHRAWARDI)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam



Disusun Oleh:
FATIMATUZZAHRO
0308376

Dosen Pembimbing:
Dayang Salamah, M. Pd.

PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA SELATAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Untuk dapat mengenal pendidikan secara lebih mendalam perlu ditelaah pandangan-pandangan para filosof mengenai pendidikan. Dalam makalah ini akan dibahas tentang pendidikan Islam dalam pemikiran aliran Iluminasionis (Suhrawardi). Terdapat biografi singkat Suhrawardi, hasil pemikirannya yaitu














BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN ALIRAN ILUMINASIONIS (SUHRAWARDI)

A. Biografi Singkat Suhrawardi
Nama lengkap Suhrawardi ialah ‘Abu al-Futuh Yahya bin Habasy bin ‘Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/1153 M, di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Di usianya yang terbilang sangat muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing ruhaninya. Suhrawardi merantau ke Persia, Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.
Wilayah yang pertama kali dikunjungi Suhrawardi adalah Maragha, yang berada di kawasan Azebaijan. Ia belajar falsafah, hukum, dan teologi kepada Majd ad-Din al-Jili. Suhrawardi kemudian meneruskan perjalanannya ke Isfahan, Iran Tengah. Di sini ia belajar logika kepada Zhahir ad-Din al-Qari. Suhrawardi meneruskan perjalanannya ke Anatolia, di sana adalah puncaknya kejayaan Bani Saljuq dalam bidang sastra khususnya fiksi liris-romantik. Setelah memperoleh pengetahuan formalnya, Suhrawardi pergi menuju Persia, yang dikenal sebagai tempat awal munculnya gerakan sufi dan gudang tokoh-tokoh sufi. Suhrawardi tertarik pada ajaran dan doktrin Tasawuf dan akhirnya ia menekuni mistisisme. Pada akhirnya, dalam diri Suhrawardi terkumpul dua keahlian, yakni falsafah dan tasawuf, sehingga ia menjadi seorang filsuf sekaligus seorang sufi.
Suhrawardi mengakhiri petualangannya di Syria. Dari Damaskus ia kemudian pergi menuju Aleppo, dan di sana ia bertemu dan bersahabat dengan gubernur Aleppo, Malik azh-Zhahir. Malik sangat menghargai dan menghormati para ulama, cendekiawan, dan ahli pikir. Kecenderungannya Malik itu menyebabkannya sangat tertarik dan cocok dengan cara berpikir Suhrawardi. Ia mengundang Suhrawardi untuk menjelaskan ide-ide pemikirannya. Namun sangat disayangkan bahwa penghormatan dan penghargaan yang diberikan Malik kepada Suhrawardi tidak diikuti oleh para fuqaha pada saat itu. Pada saat itu persaingan antara ahli fiqh (fuqaha) dan ahli tasawuf (sufi) sudah mulai terasa. Mereka merasa cemburu dan tersaingi tampilnya fisuf muda berbakat itu. Perasaan tersebut mendororng mereka untuk memusuhi dan melenyapkan Suhrawardi. Mereka memanfaatkan kelemahan Suhrawardi yang menyampaikan keyakinan-keyakinan batiniyahnya secara terbuka. Suhrawardi dianggap menonjolkan unsur kebatinan dan dalam wacana teologis ia cenderung kepada paham Syi’ah, khususnya Isma’iliyah. Sedangkan pada saat itu, toleransi beda pendapat sangat dibatasi dan dikekang. Mereka lalu mengajukan tuntutan kepada Malik azh-Zhahir agar Suhrawardi dikenakan hukuman mati, akan tetapi Malik tidak sependapat. Maka mereka kemudian mengajukan secara langsung kepada Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang menguasi Yaman, Mesir, dan Syria. Karena alasan beda corak pemikiran dan lain aliran dengan Suhrawardi, juga karena para fuqaha merasa telah ikut berjasa dalam membendung tentara salib, Sultan Shalahuddin pun mengabulkan desakan dan tuntutan para fuqaha.
Akhirnya dengan amat terpaksa, Malik azh-Zhahir pun melaksanakan tuntutan tersebut dan mengeksekusi Suhrawardi dengan hukuman penjara. Namun demikian, penyebab langsung dari kematian Suhrawardi tidak jelas dan masih menjadi misteri. Dalam kaitannya ini, Ziai mengatakan bahwa Suhrawardi mati dihukum gantung. Suhrawardi meninggal pada 29 Juli 578 H/1191 M, dalam usia 36 tahun menurut kalender Syamsiyyah dan 38 tahun menurut kalender Qamariyyah.
B. Ajaran Iluminasi
Filsafat Isyraqiyah atau teosofi, menjadi lebih tepat didasarkan pada metafisika cahaya. Pemula dan sumber segala sesuatu adalah cahaya atas segala cahaya (nur al-anwar), yang merupakan cahaya absolut dan tidak terbatas di atas dan di belakang semua sinar yang memancar. Karena kenyataannya tak ada sesuatu pun dalam alam semesta yang luas ini melainkan cahaya. Dari cahaya di atas segala cahaya ada suatu hirarki cahaya-cahaya, vertikal maupun longitudinal, cahaya-cahaya yang terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi universal dan suatu tatanan horizontal atau latitudinal (melintang), yang berisi pola dasar (rabb al-naw’). Cahaya-cahaya ini tidak lain daripada apa yang dalam agama disebut malaikat-malaikat. Suhrawardi memberi nama terhadap malaikat-malaikat Mazdean dan juga Islam dengan cahaya-cahaya ini, dan menghasilkan peranan sentral dalam kosmologi dan juga epistemologi dan soteriologi.
Kata Isyraq dalam bahasa Arab berarti iluminasi dan sekaligus juga cahaya pertama pada pagi hari, seperti cahaya matahari dari timur (syarq). Timur tidak hanya berarti timur secara geografis tetapi awal cahaya, yakni realitas. Filsafat Isyraqiyah berarti “ketimuran” dan “iluminatif.” Ia adalah pengetahuan dengan pertolongan, yang manusia dapat menyesuaikan dirinya sendiri dalam alam semesta dan akhirnya menjangkau bahwa Timur adalah tempat kediaman yang azali.
Suhrawardi melihat filsafat yang benar sebagai hasil dari perkawinan antara latihan intelektual teoritik melalui filsafat dan pemurnian hati melalui Sufisme. Makna pencapaian pengetahuan tertinggi yang ia anggap iluminasi, sekaligus mentransformasikan dan melimpahnya pengetahuan seseorang. Filsafat sebagai suatu aktivitas mental, yang lepas dari realisasi spiritual dan kehidupan batin dan filsafat Islam lebih lanjut menjadi sophia yang senantiasa dimiliki dalam tradisi-tradisi ketimuran, yaitu suatu hikmah yang hidup, pengalaman, pemikiran dan juga penalaran.

C. Pandangan Suhrawardi Tentang Cara-Cara Memperoleh Pengetahuan
Suhrawardi menegaskan pandangannya tentang bagaimana pengetahuan diperoleh yang terdiri dari tiga tangga. Tangga pertama ditandai dengan aktivitas sebagian filosof: ia harus “memisahkan dunia”. Tangga kedua ditandai dengan pengalaman-pengalaman tertentu: filosof mencapai pancaran-pancaran suatu “Cahaya Tuhan” (al-nur al-Ilahi). Tangga ketiga ditantadi dengan perolehan pengetahuan yang tak terbatas dan tak terikat, yaitu pengetahuan iluminasi (al-ilm al-isyraqi).
Filsafat Iluminasi terdiri dari tiga tingkat yang berkaitan dengan persoalan pengetahuan – bagaimana mempersiapkan, mengalaminya, menerimanya melalui iluminasi, menyusunnya dalam suatu pandangan sistematik tentangnya. Ditambah dengan suatu tingkat tambahan yang terdiri dari proses mengungkapkan hasil-hasil pengalamn iluminasi dan pencarian tentangnya dalam bentuk tulisan.
Secara lebih rinci bahwa tangga pertama adalah aktivitas yang melaluinya filosof mempersiapkan dirinya sendiri bagi pengetahuan iluminasi, suatu jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman”. Tahap kedua adalah tangga iluminasi. Tahap ketiga adalah tahap konstruksi.
Awal tahap pertama diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama empat puluh hari, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk menerima inspirasi dan ilham. Aktivitas-aktivitas semacam itu masuk dalam kategori praktik-praktik asketik dan mistik, meskipun tidak sama pesis dengan pernyataan-pernyataan dan penghentian-penghentian jalan sufi yang ditetapkan, atau tarekat sufi, sebagaimana dikenal dalam karya-karya mistis yang ditemui Suhrawardi. Melalui aktivitas-aktivitas semacam itu, filosof dengan kekuatan intuitifnya, dalam dirinya, terdapat suatu bagian “Cahaya Tuhan” (al-bariq al-ilahi), dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya sendiri melalui “ilham” dan “penyingkapan diri” (musyahadah wa mukasyafah). Atas dasar itu, tahap pertama ini terdiri dari: (1) suatu aktivitas; (2) suatu kondisi (yang ditemui seseorang, karena kita tahu bahwa setiap orang mempunyai intuisi dan dalam diri setiap orang ada bagian tertentu cahaya Tuhan); (3) ilham pribadi.
Tahap pertama mengantarkan kepada tahap kedua, dan Cahaya Tuhan memesuki wujud manusia. Cahaya ini mengambil bentuk serangkaian “cahaya penyingkap” (al-anwar al-sanihah) dan melalui “cahaya-cahaya penyingkap” pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-‘ulum al-haqiqiyah) dapat diperoleh.
Tahap ketiga adalah tahap pembangunan suatu ilmu yang benar (al’ilm al-shahih). Tahap terakhir adalah menurunkan filsafat iluminasi dalam bentuk tulisan.





Referensi:
- Drajat, Amroeni. 2005. Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
- Nasr, Seyyed Hossein. 1996. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. Yogyakarta: CIIS Press.
- Ziai, Hossein. 1998. Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi: Pencerahan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Zaman Wacana Mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar